Pffh...

36 2 0
                                    

Hidup berdampingan dengan kenangan.

Mungkinkah seseorang dapat menjalaninya? Bahkan ketika prahara bertubi-tubi membuatnya jatuh untuk kesekian kalinya? Tubuh ini remuk. Hati dan jiwa ini rasanya ringsek. Luka di hati ini semakin sekarat dan membuat lara. Aku tak lagi dapat menyentuh kulitmu yang selembut kapas. Aku tak lagi dapat membelai dan menyibak rambutmu yang menutupi dahimu. Aku suka dahimu. Aku suka semua bagian dari dirimu. Tak terkecuali senyuman mahal itu.

Dulu, ketika aku belum mendapatkanmu secara utuh aku harus membayar mahal untuk seulas senyum tipis darimu. Aku kerap kali kamu anggap sebagai angin lalu saja. Tentunya dengan volumenya tak melebihi sepoi. Ough! Hati ini ingin sekali jadi angin topan. Dan seandainya bisa lebih kuat, aku ingin menjadi badai agar dapat menghantam hatimu. Merambahi tiap detil ruang hatimu. Menjabani seluk-beluk hatimu. Membungkam kata hatimu untuk menyatakan kecintaanmu pada laki-laki lain. Meniti tangga menuju cintamu yang sesungguh. Me- yang lain dan selanjutnya hingga aku dapat leluasa singgah di hatimu.

Sikapku sangatlah sederhana. Aku hanya ingin memilikimu. Itu saja.

Mungkin bagimu, aku sangat serakah. Aku rakus dalam kepemilikanmu. Tapi... bukan itu maksudku. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Aku sering sakit mendengar kata 'bosan' yang sering kau utarakan pada kesempatan termin pertama, termin kedua, termin ketiga, termin keempat, dan termin-termin lainnya. Kau pikir aku tak bosan? Kau pikir hanya kau saja yang bosan?

Aku juga.

Kukatakan sekali lagi, aku juga.

Aku sangat bosan.

Aku bosan dalam segala hal. Aku bahkan mulai bosan atas diriku sendiri. Raga ini punya siapa; hati ini punya siapa; degup jantung ini punya siapa; aku tak tahu. Aku tersesat dalam diriku sendiri. Jiwaku melayang dihembus angin yang kuatnya tak lebih dari sekedar ayunan lidi yang ringkih. Ya Tuhanku, mengapa iman ini selalu saja goyah menghadapi cobaan dari-Mu? Memang manusia hanyalah manusia. Kejernihan otak bukan berarti membuat otak mengeruk dalam. Bisa saja dangkal atau malah kosong.

Terhenyak sesaat ku memandang kepergianmu setelah kau menghujatku. Menghujaniku dengan mantra-mantra kutukan yang membuat hatiku pedih. Jika ini yang akan terjadi, mengapa kau mendatangiku? Mengapa kau membuatku jatuh tak berdaya tanpa sisa tenaga lagi. Sadarkah kau bahwa kau telah mengurasku habis-habisan? Tidak? Hhhh... aku pun hanya dapat berdoa. Mendoakanmu agar kau selalu selamat dunia-akhirat.

Mungkin ini sudah menjadi nasibku. Aku berhenti di sini. Maksudku, terhenti sampai di sini. Terpaksa dan sebaiknya dipaksakan. Ini sudah menjadi keputusanku. Yah, meski aku tak lagi dapat membaui wangi tubuhmu, menyentuhmu, menyesap kopi buatanmu di sela waktu, memeluk erat tubuhmu yang lekukannya semakin membuatku tergoda, mengecup keningmu, melambaikan tanganku ketika kau pergi sesaat,... tak apa. Sungguh tak apa. Hariku tetap ada tanpamu. Tetap indah dan penuh keajaiban.

Keajaiban bisa saja dibuat oleh manusia. Tak terkecuali oleh diriku sendiri. Aku punya kemampuan untuk itu. Aku punya kemampuan untuk menyibukkan diriku dengan pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk. Aku ini eksekutif muda yang memang seharusnya disibukkan oleh pekerjaan. Bukan disibukkan oleh pekerjaan 'melayani' kau. Keajaiban mendatangiku dan langsung memelukku erat saat pekerjaanku selesai tepat waktu. Oh, lihatlah.. betapa aku dapat tersenyum karenanya. Bukankah itu keajaiban kecil? Senyuman. Yah, itulah keajaiban.

Seulas senyum yang mendadak membuatku rindu akan empunya senyum mahal itu. Itu... akh, kau lagi! Mengapa kau lagi? Aku muak denganmu.

Lagi-lagi, kau mendatangiku. Kali ini menghujaniku dengan keluh kesah, lenguh panjang, dan umpatan tak enak dengar. Dan aku berkata, "Sudahlah, tenangkan dirimu." Ayih, aku ini bodoh sekali. Harusnya aku mengusirmu detik ini juga.

Gugusan Rasa (Buku Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang