Donghae

429 30 0
                                    

Aku sakit perut. Parah.

Pagi ini, aku sudah bolak-balik ke toilet sebanyak lima kali--atau mungkin lebih, dan aku sama sekali nggak menikmati tidurku. Padahal, aku sudah seharian nggak tidur dan aku butuh banget tidur, apalagi aku sudah dihadapkan oleh kasus baru yang rasanya bakal menguras tenaga lebih banyak dari kasus sebelumnya.

Yah, cuman perasaanku saja sih, tapi biasanya perasaanku selalu tepat. 

Aku iri sama Yuri yang bisa tidur nyenyak banget tanpa gangguan sedikitpun. Dia cuman terbangun beberapa kali karena suara gaduh yang aku buat saat aku buru-buru lari ke toilet, tapi kemudian dia bisa tidur lagi dengan cepat seakan-akan nggak ada apapun yang terjadi.

Sialan.

"Makanya, kalau makan dijaga." katanya cuek, saat kami sudah bersiap untuk check out dari motel tempat kami menginap semalam.

Jangan berpikiran jorok dulu, aku dan adikku tidur di kasur terpisah, kok. Kami memesan kamar double bed  karena budget kami sekarang lumayan banyak dan tidur di kasur masing-masing. Sekalipun adikku itu cewek dan sudah besar, aku sama sekali nggak pernah punya pikiran jorok tentangnya.

Hell, dia kan adikku.

"Dari kemarin aku cuman makan masakan Namjoon dan Jinki." kataku membela diri.

"Oh ya? Dua gelas capuccino latte itu lari kemana?"

"Iya juga sih." aku mengutuk diriku sendiri. "Jangan-jangan Namjoon sengaja memasukkan racun ke kopiku, ya?"

"Mungkin." sahut Yuri enteng. "Ya udah, karena kamu lagi sakit perut kayak ibu hamil begitu, aku yang nyetir."

"No way." sahutku tegas. "Sekalipun aku dalam keadaan sekarat aku nggak akan membiarkan siapapun menyentuh baby."

Ya, hanya aku satu-satunya orang yang boleh menyentuh dan mengendarai Civic, baby-ku, mobil kesayanganku. Hei, aku juga punya alasan kenapa aku bisa mencintai mobilku dengan lebay kayak gini. Aku membelinya dengan uang tabunganku sendiri--yah, meskipun mobil bekas, tapi mesinnya masih oke dan nggak ada satupun cacat yang aku temukan di bodinya saat aku membelinya. Apalagi, warnanya yang hitam metalik dan klasik benar-benar terlihat keren di jalanan.

Intinya, baby-ku itu sempurna.

"So mature, Lee Donghae. So mature." Yuri mendesis mengejekku, sementara aku menunjukkan senyuman lima jariku kepadanya. 

"Ngomong-ngomong, sudah hubungi kakaknya Bora?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan dengan cepat dan untungnya Yuri menanggapi dengan baik.

"Yup." kepalanya mengangguk singkat, membuat rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang-goyang. "Aku heran kenapa suara kakaknya Bora bisa terdengar lebih muda darinya."

"Mungkin itu bukan kakaknya." timpalku, kemudian membuka pintu kemudi Civic lalu menempatkan pantatku di kursi kemudi--yang entah kenapa, terasa nyaman banget.

Yuri masuk kedalam Civic, duduk di kursi penumpang yang ada di sampingku, menutup pintunya, kemudian menatapku dalam-dalam. 

"Apa maksudmu dengan bukan kakaknya?" 

Aku mengangkat bahuku lalu menyalakan mesin mobil. Ah, nggak ada suara yang lebih indah daripada suara raungan mesin Civic. 

"Cuman nebak, nanti kita cari tahu sendiri."

Yuri mengerlingkan matanya kemudian memasang sabuk pengaman. "Kita langsung ke stasiun tivi saja, kakaknya Bora dan artisnya itu sudah menunggu kita." 

"Stasiun tivi?!"

"Norak." dengus Yuri, membuatku terkekeh kecil. "Ya, kakakku, kita akan pergi ke stasiun tivi tapi jangan harap kamu bakal ketemu sama... Siapa tuh, cewek yang suka jadi wallpaper di ponselmu itu?"

"Kwon BoA." jawabku santai. Aku cukup terkesan karena ternyata selama ini adikku selalu memperhatikan wallpaper ponselku. Ternyata dia nggak se-cuek itu. 

"Ya, pokoknya itulah. Jangan harap bertemu dia, jangan bertingkah norak disana. Oke?"

"Astaga, sayangku, aku bisa mengendalikan diriku sendiri, kok. Tenang saja." ujarku, membuat Yuri mengerlingkan matanya untuk kesekian kalinya. 

"Aku serius, Donghae." desisnya. "Plis jangan malu-maluin."

Aku tertawa kecil kemudian menepuk-nepuk kepalanya pelan. "You can count on me."

Kami mulai meninggalkan area motel, menuju jalan tol dengan kecepatan sedang. Aku belum berani ngebut karena jalanan memang sedang padat-padatnya mengingat ini masih jam tujuh pagi--alias, jam berangkat kerja dan jam berangkat sekolah. Sepanjang jalan, aku sesekali melihat anak-anak dengan seragam SMA, membawa tas sebesar karung beras tapi wajah mereka semua sumringah. Sial, aku jadi ingat masa-masa SMA-ku dulu.

Oke, bukan waktunya untuk nostalgia sekarang. Aku harus fokus nyetir.

"Aku masih penasaran sama telepon yang kamu terima kemarin." kata Yuri tiba-tiba, membuat jantungku serasa mencelos jatuh dari tempatnya. Aku mengeratkan genggamanku pada setir, membuat buku-buku jariku memutih, berusaha untuk tetap terlihat santai di depan Yuri--padahal aslinya aku tegang setengah mati.

"Cuman salah sambung, sayangku." jawabku.

"Yeah? Sampai-sampai buku-buku jarimu memutih kayak kapas gitu?"

Shit. Adikku teliti banget.

"Aku mendadak mules lagi." kataku asal. 

"Well, kalau gitu, kita harus cari toilet. Jangan membuangnya di dalam celanamu."

"Astaga, ya nggak lah." aku tertawa keras-keras--berusaha untuk menutupi rasa tegangku, tentu saja--menanggapi candaannya. "Bisa aku tahan kok."

Baiklah, aku akan ceritakan alasan kenapa aku mendadak tegang setengah mati seperti bertemu hantu saat Yuri mengungkit-ungkit soal telepon itu. Awalnya, ya, aku yakin kalau itu hanya salah sambung biasa dan si penelepon juga sempat mengatakan sesuatu yang nggak jelas--tapi saat dia mulai menyebutkan namaku, rasanya seluruh darah di tubuhku berhenti mengalir. 

Dia mengatakan sesuatu yang buruk akan menimpaku, balas dendam, penyiksaan, bahkan dia menyebut-nyebut nama ayahku, si pria brengsek yang sama sekali nggak pernah kuanggap sebagai ayah. Sejauh itu aku masih bisa menerimanya, tapi saat dia menyebutkan nama Yuri, aku nyaris mengumpat meneriakinya.

Tapi, saat itu aku hanya nggak bisa melakukannya karena masih ada di halaman rumah Yoona dan ada banyak sekali orang disana. Aku nggak mungkin mengatakan kata-kata kasar depan mereka, kan?

Ada satu kalimat yang terus mengganggu pikiranku dari si penelepon sinting itu. Cukup singkat sebenarnya, tapi seakan-akan menempel permanen di otakku, menghantuiku kapanpun aku memejamkan mataku, seakan-akan aku masih bisa mendengar suara si penelepon yang berat dan dingin.

'Permainan baru saja dimulai, Lee Donghae. Persiapkan dirimu.'

Sial, permainan apa sih? Apa yang harus aku persiapkan? Dari siapa? Untuk apa?

"Rem!" seru Yuri, membuatku dengan spontan menginjak pedal rem. Aku sedikit mendongak untuk melihat lampu lalu lintas--yang ternyata, sudah berwarna merah.

"Kamu harus istirahat, biar aku yang nyetir. Aku nggak mau kita kecelakaan gara-gara kamu yang nyetir sambil ngantuk gitu." kata adikku dengan gaya bak diktator.

"No no no, aku nggak ngantuk, kok. Sori, tadi itu aku sedikit--ngelamun." sanggahku cepat.

"Lee Donghae, jangan keras kepala begitu." 

"Aku nggak apa-apa adikku, serius." kataku. 

"Aku nggak yakin."

"Beneran." aku mengedipkan sebelah mataku kepadanya. Tanganku meraih tombol on pemutar musik, memilih-milih lagu sebentar, kemudian membiarkan lagu Paradise City dari Gun's 'N Roses berbunyi ke seluruh sudut Civic. Aku tersenyum senang kemudian melanjutkan menyetir dengan tenang sementara Yuri hanya menghela napasnya panjang. 

Nah, bagini lebih baik. 

The LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang