Yuri

253 27 3
                                    

Kayaknya aku pernah nonton sebuah film tentang seorang penggemar yang terobsesi banget sama artis idolanya, deh. 

Bentar, aku ingat-ingat dulu judulnya apa.

Sial, aku lupa judulnya. Tapi pokoknya adalah. Nah, ceritanya itu mirip-mirip sama kasusnya Krystal sekarang. Awalnya aku kira orang semacam itu--yang tergila-gila sama idolanya sampai berani bertindak gila itu hanya ada di film, hanya fiksi. Ternyata aku salah besar. Orang semacam itu memang benar-benar ada di kehidupan nyata. 

Dunia ini sudah semakin gila saja.

Aku dan Donghae berencana untuk menangkap--atau mungkin mencegat--siapapun yang biasanya mengirimkan surat kepada Krystal. Aku yakin seratus persen bahwa si pengirim surat tidak akan terlalu bodoh untuk mengirimkan suratnya sendirian, sih, jadi aku dan Donghae hanya akan bertanya-tanya kepada petugas pos yang biasa mengirimkan surat tiap paginya. Jadi, rasanya kata-kata menangkap barusan agak kurang pas, ya.

Malam ini kami menginap di sebuah hotel di samping apartemen milik Krystal--dan kalian semua harus tahu, kamar hotel ini keren banget. Dilengkapi dua kasur berukuran king size yang terlihat benar-benar menggoda, televisi kabel, bathub air hangat, koneksi wi-fi yang super cepat, layanan makanan yang bisa diantar 24 jam, dan semua kemewahan ini dibayar oleh Krystal untuk kami berdua.

Donghae--tentunya, menolak dengan gaya sok keren, tapi Krystal bersikeras.

"Aku kan sudah meminta bantuan oppa dan eonni, jadi sudah seharusnya aku juga memberikan sesuatu kepada kalian berdua sebagai gantinya."

Dengan perkataan--dan sedikit paksaan seperti itu, kami berdua tidak bisa menolak. Sebenarnya, aku tahu banget Donghae tidak akan menolak diberikan fasilitas mewah semacam ini, tapi karena dia sudah kelewat mengeluarkan imej sebagai cowok-sok-keren-dan-penuh-karisma jadinya dia sok-sokan menolak tawaran Krystal. Padahal, aku yakin banget dia nyaris menari hula saking senangnya.

Dan lagi, Krystal itu sudah seperti fangirl Donghae sejati--karena sejak kami menginjakkan kaki di studio dan bertemu dengannya, cewek itu tidak bisa berhenti menatap Donghae dengan tatapan kagum.

"Aku nggak bisa menyangkalnya sih, aku memang ganteng." katanya congkak, saat kami berdua sedang membereskan barang-barang kami di kamar hotel sambil berdiskusi.

"Ewh." desisku.

"Oh, you gotta admit that one too, my sister. I am handsome as hell."

"Sialan Donghae, itu jijik banget." kataku, membuatnya tertawa keras-keras. Demi tuhan, kalau dia masih saja mengeluarkan kata-kata narsis semacam itu, aku akan menyumpal mulutnya dengan kaos kakinya sendiri yang baunya bahkan lebih bau lebih bau daripada kentut kuda. 

Donghae mengacak-acak rambutku singkat kemudian melompat ke atas salah satu kasur. 

"Uh, kasurnya pengen aku nikahin." katanya, sambil membenamkan wajahnya ke salah satu bantal yang kelihatan nyaman banget. 

"Kalau mau tidur, tidur aja. Besok kita harus bangun subuh-subuh dan nggak ada waktu buat tidur lagi."

"Ya ya, aku tahu." Donghae kemudian mengganti posisinya menjadi duduk bersandar pada headboard kasur, bahunya merosot kebawah. "Oh iya, ngomong-ngomong, ada sesuatu yang belum aku kasih tahu ke kamu."

"Apaan?" tanyaku, sambil menghempaskan pantatku di kasur yang masih kosong. Sial, kasurnya memang enak banget.

"Sehun dapat sebuah pesan dari si pengirim surat itu."

"Terus?"

"Si pengirim surat--dan pengirim pesan, keduanya juga sama sajalah--bilang kalau dia nggak akan segan-segan melukai siapa saja yang berusaha untuk merebut Krystal darinya, dan dia juga mengancam kita berdua."

"Kita berdua?" aku mengerutkan keningku. "Dia juga tahu kalau kita ada disini?"

"Yup." Donghae mengangguk, kali ini duduk di hadapanku.

"Oke, ini semakin menarik."

"Aku juga pikir begitu, tapi kita tetap harus berhati-hati."

"Kenapa? Karena dia akan melukai kita juga?" tanyaku, terdengar sedikit sarkastis.

Kali ini Donghae hanya terdiam, dan alih-alih menjawab pertanyaanku, dia hanya menatapku dengan tatapan yang sangat serius.

"Astaga, sudah berapa kali sih kita dapat ancaman kayak gitu?"

"Sering sih." Donghae menghela napasnya, kemudian tanpa beban menghempaskan punggungnya iyu ke kasur. "Aku cuman punya perasaan nggak beres aja. Makanya, kita harus hati-hati."

Kalau Donghae sudah ngomong kayak gini, itu berarti ada sesuatu yang benar-benar tidak beres. Donghae mungkin sudah memberi tahu kalian sebelumnya ya, kalau kadang-kadang semua tebakan dan perasaannya itu tepat. Wait, bukan kadang-kadang lagi sih, tapi hampir semuanya tepat. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya kakakku melakukan itu--paman pernah bilang kalau dia dikutuk tapi tentunya aku tidak percaya dengan perkataannya. Sori aja, aku tidak percaya sama yang namanya takhayul. Jadi selama ini aku hanya beranggapan bahwa Donghae memang benar-benar cerdas.

Kemarin, sewaktu kami masih menyelesaikan kasus di rumah Yoona, Donghae sempat mengeluh tentang semua perasaan buruknya yang jadi kenyataan dan jujur saja, aku kasihan melihat kakakku begitu terus. Lagi, aku tidak percaya sama takhayul, tapi kalau boleh, biar aku saja yang punya kemampuan deduksi sekeren miliknya jadi dia tidak perlu merasa bahwa semua adalah salahnya. Bagaimanapun juga, Donghae sudah mengorbankan terlalu banyak untukku, untuk kami berdua. 

Memiliki kemampuan menebak yang kelewat akurat semacam itu tentu membuatnya stress. Damn, aku tahu banget kalau Donghae sebenarnya selalu memikirkan itu setiap saat, dia selalu memikirkan banyak hal. Tapi dia dengan cerdiknya menutupi semua kegelisahannya itu dengan sikapnya yang nyeleneh, tengik, dan kadar kenarsisannya yang luar biasa tinggi. 

Aku pengen banget mengatakan bahwa Donghae tidak harus menanggung semua beban itu sendirian, kan masih ada aku yang selalu mengikutinya kemanapun--atau dia yang mengikutiku, sama saja sih sebenarnya--toh masalahnya juga adalah masalahku. Kami melakukan ini bersama-sama dan kami juga harus menghadapi semua masalah yang ada bersama-sama. 

Yah, sayangnya aku sudah kagok gengsi untuk mengatakan itu di depannya. Mungkin aku akan mengatakannya nanti. Tunggu waktu yang pas.

"Bangunin aku besok ya." tahu-tahu, Donghae sudah membenamkan kepalanya di bantal, dengan mata tertutup dan wajah mengantuk yang membuatku jadi ikut-ikutan mengantuk juga. "Jangan sampai kesiangan."

"Hell, yeah." aku terkekeh. "Biasanya juga kamu yang kesiangan."

Aku bisa mendengar suara dengkuran kecil, tanda Donghae sudah tertidur total. Baguslah, dia memang butuh tidur. Besok aku akan sangat membutuhkan tenaganya, jadi dia harus dapat istirahat yang cukup.

Aku meraih remote televisi kemudian menyalakannya, mengingat-ingat kapan terakhir kali aku menonton televisi. Rasanya sudah lama banget.

Aku menonton televisi sambil duduk di kasurku yang nyaman, bersandar pada headboard kasur sampai bahuku sedikit merosot. Dengan posisi seperti ini, kayaknya aku bisa tertidur kapan saja.

Tapi aku belum mandi. Well, sebenarnya aku bisa mandi besok, toh badanku juga tidak bau-bau amat.

Oke, sepertinya aku akan tertidur sekarang.

Saat mataku nyaris menutup, ponselku berbunyi tanda ada sebuah pesan masuk. Awalnya aku pengen banget mengacuhkannya--berhubung aku sudah ngantuk setengah mati--tapi otakku terus mengatakan untuk membaca pesan itu--dan sepertinya ada sesuatu yang benar-benar penting. Jadi, dengan malas aku meraih ponselku dari meja nakas di samping kasurku, lalu dengan mata mengantuk membaca pesan yang masuk kedalam ponselku.

Unknown number.

Hah? Siapa orang iseng yang mengirimiku pesan malam-malam begini?

Isi pesan itu cukup singkat, padat, jelas, tapi berhasil membuatku membelalakkan mataku, membuat rasa kantuk yang semula sudah merajaiku hilang seketika.


'Aku sudah memperingatkanmu...'


Sial. Siapa sih?

The LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang