Yuri

249 26 0
                                    

Aku tahu aku sering banget bertengkar sama Donghae.

Aku tahu kadang Donghae menyebalkan setengah mati dan rasanya aku bisa memelintirnya kapan saja, tapi serius, aku sayang banget sama kakakku yang tengik itu.

Aku sayang kakakku lebih dari apapun di dunia ini.

Makanya, aku sedih banget saat aku melihat kakakku yang biasanya ganjen dan tidak bisa diam itu, kini harus terbaring tidak berdaya di kasur rumah sakit yang keras.

Ironis.

Donghae memang sering ngeluh dia benci rumah sakit dan segala sesuatu tentangnya, tapi kali ini, dia tidak bisa protes. Well, kelihatannya dia belum punya cukup tenaga untuk protes, sih. Kepalanya menghantam tanah dengan cukup keras begitu dia jatuh dan bahu sebelah kanannya bolong gara-gara ditembak Sehun. Dokter yang menanganinya bilang Donghae mengalami gegar otak ringan, trauma pasca tertembak, tapi selebihnya dia baik-baik saja.

At least that's what he said.

Aku bersyukur banget karena kakakku masih hidup. Maksudku, ini adalah pertama kalinya aku melihat Donghae nyaris mati di depan mataku sendiri—dan asal kalian tahu saja, aku ketakutan setengah mati. Hell, aku bahkan hampir menangis gara-gara itu. Hampir.

Jadi kronologisnya begini. Begitu aku mendengar suara tembakan yang disusul oleh suara jeritan Krystal, aku dan Dara langsung berlari menuju sumber suara dan mendapati Sehun yang tengah menodongkan pistolnya tepat di depan Donghae. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari dengan kecepatan penuh kemudian menendang Sehun tepat di kepalanya—tapi sayangnya, saat aku menendangnya, saat itu juga dia menarik pelatuknya, dan membuat Donghae seketika roboh di tempat.

Aku tidak peduli apakah tendanganku di kepalanya Sehun itu berhasil membuatnya pingsan—karena begitu Donghae terjatuh, perhatianku langsung tertuju kepadanya. Aku buru-buru menghampirinya tapi Donghae sudah keburu pingsan, darah membasahi kemejanya tepat di bagian bahu sebelah kanannya dan aku mulai panik saat napas Donghae mulai tersendat-sendat. Dara datang menghampiriku dan Donghae, mukanya terlihat cemas luar biasa. Kami menunggu selama dua menit sampai beberapa orang dari bagian UGD rumah sakit ini datang memberikan pertolongan. Aku bahkan sampai tidak sadar bahwa kami sudah dikelilingi oleh banyak polisi, beberapa dari mereka ada yang memborgol tangan Sehun—yang ternyata, berhasil aku bikin KO total.

Aku tidak menyangka bahwa kekutanku lumayan juga.

"Aku mau pulang."

Sial, narasiku jadi keganggu kan.

Aku melirik Donghae yang tengah duduk di kasurnya, bersandar pada headboard, menatap lurus kearah televisi yang tengah menayangkan film Batman tahun 1989 dengan muka bête.

"Kata dokter, kamu baru bisa pulang besok." balasku.

Donghae mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku mau sekarang!"

Gosh, so immature.

"Terserah sih, tapi kalau nanti malam luka kamu sakit lagi aku nggak mau tanggung jawab."

Mendengarku berkata seperti itu, Donghae makin menekuk wajahnya. Aku tahu dia tidak mau kejadian semalam terulang lagi—well, sebenarnya aku juga, sih. Jadi gini, tadi malam itu luka yang ada di bahu kanannya Donghae mendadak sakit lagi—atau setidaknya, itu yang dia katakan padaku—dan kayaknya rasa sakitnya agak parah, soalnya Donghae sempat pingsan beberapa menit gitu.

Kata dokter sih, itu emang side effectnya. Tidak akan berlangsung lama, paling cuman sehari-dua hari. Tapi, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dokter menyarankan Donghae untuk tetap di rumah sakit setidaknya sampai besok. Omong-omong, ini sudah hari kedua Donghae dirawat di rumah sakit ini.

The LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang