Yuri

206 24 1
                                    

Kalau tebakanku benar, sebentar lagi bakal turun hujan.

Langit mulai kelihatan mendung banget, angin berhembus lebih kencang dari biasanya dan aku tidak menyesali keputusanku untuk memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah tua kesayanganku—berhubung hawanya lumayan dingin dan kemeja ini benar-benar membantu untuk menghangatkan badanku.

Saat ini, aku tengah berada di sebuah taman di pusat kota, tempat pemotretan Krystal berlangsung dan rasanya aku bisa mati bosan berlama-lama di tempat ini. Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain duduk, mengamati orang-orang sekitar—dan orang-orang yang berinteraksi dengan Krystal, khususnya. Donghae bilang dia punya tebakan bahwa si pengirim surat terror bangsat itu akan menunjukkan batang hidungnya di tempat ini hari ini, tapi sejauh ini aku tidak melihat satupun orang yang mencurigakan.

"Aku yakin dia nggak se-goblok itu untuk menunjukkan wajahnya yang asli di publik, jadi mungkin dia pakai samaran. Gimana bentuk samarannya, aku belum yakin."kata Donghae.

"Yup, jadi itu tugas kita untuk mencari tahu."

"Tugas kamu sih, technically." Donghae menaikkan risleting jaketnya sampai ke dagu kemudian mengedipkan sebelah matanya kearahku.

"Hah? Maksudnya?"

"Aku harus memeriksa sesuatu dulu, kamu tunggu disini sebentar ya. Jangan ikut." jawabnya cepat, lalu sebelum aku sempat mengatakan apapun dia sudah keburu keluar dari mobil, meninggalkanku sendirian.

What the hell?

Aku menghela napasku kemudian mendecakkan lidahku. Kalau Donghae sudah memintaku untuk tidak mengikutinya, berarti dia sedang melakukan sesuatu yang serius—dan itu kadang membuatku kesal setengah mati.

Maksudku, hello? Kenapa aku selalu tidak boleh ikutan bagian serunya, sih?

Aku mungkin cewek dan badanku mungkin kecil, tapi jangan pernah sekalipun remehkan kemampuan. Aku bisa menghajar sepuluh orang preman sekaligus dengan mata tertutup. Hei, gini-gini juga aku menguasai karate dan taekwondo. Aku ini bukan tipe cewek yang lemah dan butuh perlindungan dari seorang cowok setiap saat—hell, itu menjijikan—dan lagi, aku sudah cukup dewasa untuk bisa menjaga diriku sendiri.

Donghae sudah tahu kemampuanku—tapi alih-alih mengajakku ikut, dia malah menyuruhku untuk menunggu dan kadang-kadang lari jika diperlukan.

Nyebelin banget, kan?

Aku sering banget merenungkan masalah ini—kenapa aku memilih mengikuti Donghae berkeliling mencari ayah kami dan meninggalkan beasiswaku disaat orang lain menginginkannya setengah mati. Ya, aku tahu sih, ini juga keputusanku, tapi terkadang aku heran apa sebenarnya peranku disini. Donghae menyelesaikan sebagian besar kasus yang kami tangani sementara aku lebih sering berperan sebagai komunikator antar klien dan penyedia informasi. Aku jarang banget melakukan aksi-aksi seru seperti yang sering Donghae lakukan dan jujur saja, aku bosan kalau begini terus.

Intinya sih, aku cuman pengen melakukan lebih banyak aksi. Gitu.

Kurasa aku harus membicarakan soal ini dengan Donghae nanti.

Sebuah ketukan ringan di jendela mobil membuyarkan lamunanku, membuatku nyaris melompat kaget. Aku memalingkan wajahku kearah jendela lalu melihat Jimin—orang dari kepolisian yang datang bersama Dara barusan—tengah tersenyum lebar kearahku seperti anak pramuka yang mau diajak berkemah.

Aku tersenyum garing kemudian keluar dari mobil.

"Ada apa?" tanyaku, berusaha untuk terlihat ramah.

"Itu—err, aku dan Dara noona sudah selesai memeriksa area sekitar." jawabnya, terlihat benar-benar gugup.

"Oh, dapat sesuatu?" tanyaku lagi, kali ini berusaha untuk tidak tertawa melihat gerak-gerik Jimin yang cupu.

"Nggak juga sih, nggak ada sesuatu yang begitu mencurigakan." jawabnya. "Aku kemari karena Dara noona bilang dia harus melakukan suatu hal dan aku nggak boleh mengikutinya."

"Well, looks like my brother said the exact same thing to me." kataku, membuat Jimin terkekeh pelan.

"By the way, noona, aku senang banget karena akhirnya bisa bertemu langsung denganmu."

"Oh ya? Kenapa?" tanyaku heran. "Jangan bilang kalau kamu tahu tentangku dan Donghae dari internet juga, soalnya itu aneh banget."

"Ya, sebagian besar dari situ sih." Jimin tersenyum simpul. "Tapi aku sudah dengar cerita masa kecilmu dari Dara noona, dan jujur saja, aku salut."

"Dara?" aku mengerutkan keningku. Oh, iya, benar juga ya. Dara kan teman semasa SMA-nya Donghae—sekalipun aku yakin banget bahwa cewek itu adalah salah satu mantan pacarnya—jadi mungkin wajar saja jika dia tahu cerita masa kecilku dan Donghae. Lagipula, kelihatannya Donghae dan Dara punya hubungan yang cukup dekat dulu.

Hell, aku yakin seratus persen bahwa mereka pernah berpacaran.

"Iya, Dara noona sering menceritakan tentangmu dan Donghae hyung—meskipun kebanyakan dia menceritakan tentang Donghae hyung, sih." jawabnya, yang kubalas dengan sebuah anggukan kecil.

"Ngomong-ngomong, aku ingin tanya sesuatu, boleh?" tanyaku, sementara Jimin tampak antusias.

"Tentu." balasnya.

"Soal ceritaku di internet itu." kataku, kemudian aku menarik napasku. "Kamu tahu nggak siapa yang memasukkan cerita tentangku dan Donghae di internet? Maksudku, aku sendiri berpikir bahwa aku dan Donghae ini hanya detektif swasta biasa—kami nyaris nggak pernah menangani kasus yang serius banget—apa kamu pikir cerita di internet itu agak... mencurigakan?"

Jimin menganggukkan kepalanya, kali ini wajahnya berubah menjadi serius.

"Jujur saja noona, aku sendiri juga berpikir begitu. Aku sudah berusaha untuk mencari tahu siapa yang memasukkan cerita tentang kalian berdua ke internet tapi sampai saat ini aku belum menemukan hasil."

"Dan aku akan jujur lagi padamu, noona, sebenarnya, selama ini aku dan Dara noona selalu mengawasi gerak-gerikmu dan Donghae hyung." lanjutnya, membuatku membelalakkan mataku.

"Mengawasi?"

"Ya, sejak kalian berdua memutuskan untuk berkeliling Korea Selatan mencari ayah kalian." jawabnya, dan aku tidak bisa lebih terkejut lagi dari ini.

"Apa maksudmu dengan mengawasi?" tanyaku tajam.

"Yah, jadi sebenarnya—"

Sebelum Jimin sempat menyelesaikan kalimatnya, kami berdua dikejutkan oleh sebuah suara ledakan besar, lalu samar-samar mataku menangkap kilatan cahaya berwarna jingga kemerahan—lengkap dengan bau asap yang menyesakkan.

Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa sebuah mobil baru saja meledak—dan bukan hanya itu saja, tidak jauh dari mobil yang sekarang sudah terbakar itu, aku bisa melihat Krystal terkapar di tanah dengan Sehun menindih badannya, berusaha melindunginya.

Punggung Sehun terbakar.

The LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang