Pertama-tama, aku belum mandi.
Aku mungkin ganteng, tapi tampangku pasti sudah hancur berantakan gara-gara belum mandi seharian. Dan sialnya, dengan tampang mirip kuli bangunan sehabis guling-gulingan di lumpur kayak gini, aku malah bertemu dengan satu-satunya cewek yang nggak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.
Kedengarannya lebay, ya, aku tahu. Tapi aku serius.
Namanya Sandara, tapi aku lebih suka memanggilnya Dara. Dia barangkali cewek terbaik yang pernah kukenal--setelah Yuri, tentu saja. Bagaimanapun juga, adikku nomer satu.
Nggak ada yang berubah dari cewek itu. Matanya, hidungnya, bibirnya, pipinya, semuanya masih sama seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Hell, kapan ya aku terakhir bertemu dengannya? Rasanya sudah lama banget.
Well, mungkin ada beberapa perubahan sih. Dia memanjangkan rambutnya--seingatku, dulu rambutnya nggak sepanjang itu--dan itu membuatnya terlihat semakin cantik.
Ya, dia masih tetap Dara yang dulu. Dara yang aku kenal dan aku sayang.
"Oke, seseorang bisa jelaskan padaku kenapa kalian berdua sudah saling mengenal satu sama lain begini?" tanya Yuri, membuyarkan lamunan ku.
"Hai, kenalkan, aku Sandara Park, teman SMA kakakmu. Kamu bisa panggil aku Dara." kata Dara, tersenyum ramah kepada Yuri sementara dia membalasnya dengan sebuah senyuman garing.
"Oke, teman SMA, huh?" tanya Yuri lagi, kali ini menatapku sinis. "Dia mantan pacarmu?"
"Bukan." jawabku cepat.
"Bisa jadi." jawab Dara, masih dengan senyumannya yang luar biasa manis itu.
Yuri mengerutkan keningnya. "Yang bener yang mana sih?"
"Oh, kita bisa bahas itu nanti, Yuri. Lebih baik kita bahas masalah yang lebih penting sekarang." jawab Dara lembut, membuat jantungku berdebar-debar nggak karuan.
Sialan, mendengarnya ngomong saja sudah berhasil bikin aku jadi mirip anak culun begini.
Kami akhirnya duduk berdempetan di sofa pink milik Krystal. Aku duduk berdempetan dengan Yuri dan Sehun, sementara Dara dan si cowok-dengan-wajah-sumringah-mirip-anak-pramuka duduk tepat di hadapanku. Bahkan aku sampai nggak tahu siapa nama cowok itu saking terpananya sama Dara.
Yuri menjelaskan awal mula kasus ini dengan begitu detail--dengan sedikit tambahan dari Sehun, tentu saja--sementara Dara dan si cowok-dengan-wajah-sumringah-mirip-anak-pramuka itu menyimak dengan begitu antusias.
Krystal datang nggak lama kemudian--dengan kaus berwarna pink tua lengkap dengan rok selutut berwarna kuning cerah. Rambutnya ditutupi handuk--tanda dia baru saja selesai mandi dan aku masih bisa melihat dengan jelas sisa-sisa busa bekas pasta gigi di ujung bibirnya.
"Woah, selamat datang!" serunya kepada Dara dan si cowok pramuka, membuat mereka berdua membelalakkan matanya.
"Aku Krystal, dan kalian adalah--"
"Aku Dara, dia Jimin. Kami dari kepolisian." jawab Dara, masih dengan nada bicaranya yang berhasil membuat jantungku kembali berdegup nggak karuan.
"Kepolisian? Oh iya, Sehun sudah bilang sebelumnya. Terima kasih karena sudah mau membantuku, ya." kata Krystal dengan sopan--dan sedikit kelewat ceria, menurutku.
"Jadi," Sehun berdehem pelan, membuat perhatian kami semua kembali tertuju padanya. "Sekarang sudah jam sembilan pas dan sebentar lagi Krystal harus pergi untuk pemotretan. Apa langkah selanjutnya?"
"Kami akan ikut." kata Dara. "Selama Krystal menjalankan pemotretannya, kami akan ikut dan memantau dari kejauhan. Kurasa aku dan Donghae bisa berbagi tugas, iya kan?"
"Hah? Oh--ya, tentu saja." jawabku cepat. Sialan, kenapa aku jadi mirip orang idiot begini?
Yuri mengerlingkan matanya sementara Dara hanya tersenyum simpul, membuatku salah tingkah.
Nggak, tunggu dulu. Aku ini Lee Donghae, aku nggak boleh salah tingkah kayak anak cupu begini.
"Well, kalau begitu aku dan kakakku akan bersiap-siap dulu." kata Yuri, bangkit dari tempat duduknya kemudian aku mengikutinya dengan terburu-buru. "Kami bakal siap dalam sepuluh menit."
"Bagus, kalian menginap di hotel di sebelah, kan? Kami akan menunggu kalian di lobi." kata Dara, disusul oleh sebuah anggukan plus sebuah senyuman sopan dari si anak pramuka.
Jadi begitulah, setelah mengobrol sedikit tentang detail rencana untuk hari ini, aku dan Yuri pergi meninggalkan apartemen Krystal dan berjalan kembali menuju hotel. Kali ini, aku memberanikan diriku untuk naik lift--sekalipun sebenarnya aku takut banget naik benda berjalan terkutuk ini, jangan tanya kenapa--membuat Yuri mengerutkan keningnya.
"Mantanmu ya?" tanyanya, saat kami sudah memasuki lobi hotel dan berjalan menuju kamar kami.
"Bukan." jawabku cepat.
"Jangan bohong."
"Serius."
"Oke, kalau bukan mantan terus apa?"
Aku menghela napasku panjang kemudian menjawab. "Gitu deh."
"Ewh, sok dramatis banget." desisnya, membuatku terkekeh pelan. "Nggak biasanya kamu jadi diam kayak patung begitu ketemu cewek cantik begitu. Kamu kan playboy tingkat dewa."
"Aku bukan playboy--dan nggak, aku nggak diam kayak patung. Aku cuman males ngomong."
"Hell yeah." Yuri tertawa mengejek, lalu tahu-tahu kami sudah sampai di kamar kami.
Tunggu dulu, tadi itu aku naik tangga atau naik lift ya? Kenapa cepat banget?
Yuri langsung masuk ke kamar mandi, sementara aku duduk di kasurku, menatap lurus ke depan seperti orang bego. Untuk beberapa saat, aku seakan-akan terbawa kembali ke kenangan masa laluku. Masa-masa indah semasa SMA-ku di Mokpo, masa-masa saat aku bersama dengan Dara, popularitasku di SMA--hell, aku juga menganggap masa-masa saat aku bertengkar dengan pamanku itu sebagai masa yang cukup menyenangkan.
Ya, masa-masa saat aku berkeras akan pergi mencari ayahku yang brengsek itu sementara paman menentangku habis-habisan. Masa-masa saat aku sering banget adu mulut dengannya sementara Yuri mengurung diri di kamarnya, berkutat dengan buku-buku hukumnya dan untuk beberapa saat aku kira dia akan benar-benar mengambil beasiswa di Stanford itu.
Aku ingat banget, suatu pagi, Yuri mendatangiku dan mengatakan bahwa dia mau ikut denganku berkeliling mencari ayah kami. Dia meninggalkan beasiswanya begitu saja--dan sekarang, aku baru sadar bahwa sebenarnya Yuri sudah mengorbankan banyak hal.
Sekarang, pertanyaannya, apakah yang kami berdua lakukan saat ini benar? Apakah menjadi detektif swasta, membantu orang, menyelesaikan masalah dengan harapan kami akan menemukan ayah kami adalah langkah yang tepat?
Aku dan Yuri sudah melakukan hal ini dalam waktu yang cukup lama, dan sampai sekarang, nyaris nggak ada satupun petunjuk yang mengarah kepada ayah kami. Lelaki brengsek itu bagai hilang di telan bumi.
Ditambah lagi ancaman yang aku dapat beberapa hari yang lalu itu. Sial, siapa sih dia? Kenapa dia mengungkit-ungkit soal ayah--dan kenapa dia bilang akan menyakiti Yuri?
Hell, semuanya semakin rumit saja.
Oke, sekarang bukan waktu yang pas untuk melankolis, Lee Donghae, masih ada masalahnya Krystal yang harus kamu selesaikan secepatnya.
Aku sudah mendapatkan sedikit petunjuk dari cerita Sehun saat aku menunjukkan bangkai burung kenari yang malang itu kepadanya--dan rasanya, pemotretannya Krystal nanti adalah waktu yang pas buatku membuktikannya. Seenggaknya aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa tebakanku tepat.
Tunggu dulu, biasanya juga tebakanku selalu tepat, kan?
Saat aku lagi asyik-asyiknya merenung, tahu-tahu Yuri sudah keluar dari kamar mandi.
"Cepat mandi, lima menit lagi kita berangkat!" serunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Letter
FanfictionDonghae dan Yuri di hadapkan dengan sebuah kasus baru. Kali ini, mereka dimintai tolong untuk mengungkap siapa pengirim surat teror yang ditujukan untuk Krystal Jung, artis terkenal yang lagi naik daun. Masalah semakin serius saat Krystal menerima s...