Suasana kantin yang selalu ramai dan bising menyambutku yang baru saja menjejakkan kaki di tempat favorit kebanyakan siswa itu. Yessi menepuk bahuku, memintaku mencari kursi kosong sementara dia memesan makanan. Ku anggukkan kepalaku dan menuruti perintahnya.
Tidak berapa lama Yessi datang dengan membawa nampan berisi 2 mangkuk soto, 2 es jeruk. Tanpa banyak basa-basi, aku dan Yessi langsung menyantap makanan kami. Kebetulan kami sangat lapar dan haus karena tadi sehabis pelajaran olahraga kami belum sempat ke kantin untuk melepas dahaga. Pak Hans, guru Sejarah –pelajaran setelah olahraga– tiba-tiba udah nongkrong di kelas dan mengumumkan kalau akan mengadakan ulangan dadakan. Jadilah satu kelas langsung kelabakan mengganti kaos olahraga dengan seragam identitas tanpa sempat untuk sekedar melirik kantin.
"Tumben kamu mau ke kantin, sama aku?". Aku melirik sekilas kearah Yessi yang sedang mencomot mendoan setelah mendengar pertanyaannya.
Dengan mengernyit aku menjawab, "biasanya kalau ke kantin kan emang bareng kamu".
Yessi memutar bola matanya, "bukan begitu maksudku". Dengusnya, "biasanya istirahat gini kan kamu lagi di perpustakaan, mojok sama Derren sampe-sampe lupa kalo kamu punya temen yang cantik, unyu dan nggemesin kayak aku". Lanjut Yessi sambil cemberut.
Aku tersenyum geli mendengar kalimat yang seperti sindiran sekaligus rengekan dari mulut Yessi. Maaf ya, Yes kalau kamu merasa aku melupakanmu. Tapi aku sama sekali tidak bermaksud begitu kok. Memang selama beberapa hari ini aku selalu menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan –dan ini memang kebiasaanku dari dulu kan?– yang secara tidak sengaja selalu bertemu dengan Derren. Entahlah, setelah perkataan Derren sepulang dari toko buku, rasanya sulit sekali bagiku untuk menganggap bahwa keberadaan Derren di perpustakaan adalah sebuah kebetulan. Aku merasa dia.... mengikutiku.
Kalian boleh menganggap aku geer, kepedean, cewek gampang baper atau apapun. Tapi aku merasa kalau Derren menyukaiku. Ya, aku menyimpulkan kalau Derren juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku. Melihat tingkah dan ucapannya padaku, aku rasa bukan sepenuhnya salah ku kalau aku menyimpulkan hal seperti itu.
Aku tidak bisa menampik kebahagiaan yang menghinggapiku saat sebuah kesimpulan itu muncul dibenakku. Meskipun nantinya ternyata kesimpulan ini hanya mimpi dan khayalanku semata, aku mohon jangan bangunkan aku dulu. Aku masih ingin menikmati rasanya –merasa– menjadi orang yang dicintai Derren. Sampai sekarang memang tidak ada tanda-tanda Derren mau menyatakan perasaannya padaku. Makadari itu, aku sudah siap untuk merasakan sakit hati seandainya suatu saat aku akan terbangun dari mimpi indah ini –saat aku mengetahui kalau ternyata Derren tidak menyukaiku.
"Vir, kok malah ngelamun sih!". Yessi mengibas-ngibaskan sebelah tangannya di depan wajahku, membuatku langsung terhempas kembali ke dunia nyata. Wajahnya semakin cemberut mengetahui aku sedari tadi tidak mendengarkan ucapannya.
Ku suapkan secendok nasi ke mulutku, "aku ngga ngelamun kok". Ujarku pura-pura santai.
Yessi semakin kesal kepadaku, "ngga ngelamun darimana! Orang aku panggilin dari tadi ngga nyahut-nyahut!". Semburnya.
Aku nyengir sambil memamerkan deretan gigi-gigi putihku, "kamu tadi ngomong apa emang?".
Spontan Yessi melotot kearahku, "tuh kan! Kamu ngga dengerin aku dari tadi!". Semprotnya keras-keras. Aku bahkan sampai menutup kedua telingaku karenanya.
Ck, Yessi. Marah si marah. Tapi inget tempat dong. Ini kantin coy! Aku sangat yakin kalau anak-anak banyak yang memperhatikan kami sekarang.
"Iya iya, maaf. Aku ngelamun tadi". Ujarku pada akhirnya.
Yessi berdecak sejurus kemudian meneguk es jeruknya, "emang ya, kalau orang lagi jatuh cinta jadi sering ngelamun". Tandasnya setelah menyisakan setengah gelas es jeruknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sunshine
Teen FictionKau datang seperti sebuah sinar kecil yang menyinari hidupku. Kau hadir seperti sebuah cahaya bintang yang menyinari gelapku. Aku menemukanmu, membuatku membuka ruang kecil dalam hatiku. Aku membutuhkanmu untuk terus menerangi dan mewarnai hari-hari...