Pagi ini aku terbangun dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Tubuhku menggigil, padahal saat dicek Ibu, badanku terasa panas bukan dingin. Hidungku juga terasa gatal. Sepertinya aku demam. Atau panas dalam mungkin? Entahlah, aku tidak begitu yakin.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika Ibu menyuruhku untuk istirahat di rumah dan izin tidak berangkat sekolah. Tapi aku menolak saat Ibu akan memanggilkan dokter untuk datang ke rumah. Aku merasa itu tidak perlu, karena aku yakin sebentar lagi aku akan baik-baik saja. Aku hanya kurang tidur dan kebanyakan pikiran.
"Ibu sudah menelpon wali kelasmu. Beliau memberikan izin, jadi hari ini kamu istirahat saja di rumah". Aku hanya mengangguk lemah menanggapi ucapan Ibu yang kini membenarkan letak selimut sampai menutupi pundakku.
"Mbok Indun lagi masak bubur. Nanti dimakan dan jangan lupa minum obat. Ibu tidak bisa menemanimu karena ada meeting penting dengan beberapa kolega bisnis Ibu dan Ayah di Bandung." Kali ini aku tersenyum miris mendengar rentetan kalimat panjang Ibu. Lihat kan? Bahkan saat aku sakit sekalipun Ayah dan Ibu tetap mementingkan pekerjaannya. Makanan dan obatku pun diserahkan pada orang lain. Sungguh orang tua yang perhatian.
Note my sarcasm.
"Kamu yakin tidak perlu memanggil dokter?". Kulihat Ayah berjalan mendekat sambil menenteng tas kerjanya. Beliau mengencangkan dasinya, sudah siap dengan segala persiapan perjalanan bisnisnya.
"Iya, Yah. Aku baik-baik aja. Tidur bentar juga sembuh".
"Yasudah kalau begitu. Ayah dan Ibu pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik. Cepat sembuh". Ayah mengelus puncak kepalaku pelan sebelum akhirnya pergi bersama Ibu, meninggalkanku yang masih terpaku di atas kasur sambil memandangi kepergian mereka hingga menghilang di balik pintu.
Aku menghelas napas panjang. Memang apa yang aku harapkan? Sudah aku bilang kalau Ayah dan Ibu itu gila kerja kan? Mereka itu work a holic. Tidak mungkin mereka rela menukar waktu bisnisnya dengan menjaga dan merawatku yang sedang sakit.
Terkadang aku bingung dengan Ayah dan Ibu yang sering bilang bahwa mereka bekerja untukku, untuk menghidupiku, untuk menjamin masa depanku. Tapi, sekarang aku sakit pun mereka seolah tak peduli. Mungkin saat aku koma tak berdaya di rumah sakit pun mereka akan biasa saja. Jadi, sebenarnya mereka bekerja itu untuk siapa? Untukku atau untuk ego mereka?
Sudahlah, lupakan saja. Lagipula, aku sudah terbiasa mandiri, aku sudah terbiasa melakukan apapun sendiri, tanpa bantuan siapapun, termasuk Ayah dan Ibu.
"Permisi, Non". Mbok Indun muncul dari balik pintu dan langsung memasuki kamarku saat aku mengizinkannya.
"Ini buburnya dimakan dulu, Non."
"Taruh aja di nakas, Mbok".
"Tapi Nyonya pesen sama Mbok supaya mastiin Non Virgie ngabisin bubur sama minum obat".
"Nanti aja, Mbok habis tidur. Virgie ngantuk". Kurapatkan selimutku hingga menutupi leher kemudian berbalik memunggungi Mbok Indun, berharap Mbok Indun menyerah dan keluar dari kamarku. Nafsu makanku benar-benar hilang dan aku tidak mau dipaksa.
Sepertinya Mbok Indun mengira aku benar-benar tidur karena aku mendengar suara pintu ditutup. Aku berbalik dan melihat Mbok Indun sudah tidak ada di dalam kamarku lagi.
Aku menghela napas panjang. Untunglah Mbok Indun tidak memaksaku. Sakit dan badmood, sungguh perpaduan yang sempurna. Aku harus segera tidur agar keadaanku dan mood-ku cepat membaik.
Ah, iya, Yessi. Aku harus memberi tahunya kalau hari ini aku tidak masuk. Kalau tidak, bisa-bisa hari ini handphone-ku jebol karena dipenuhi notif darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sunshine
Teen FictionKau datang seperti sebuah sinar kecil yang menyinari hidupku. Kau hadir seperti sebuah cahaya bintang yang menyinari gelapku. Aku menemukanmu, membuatku membuka ruang kecil dalam hatiku. Aku membutuhkanmu untuk terus menerangi dan mewarnai hari-hari...