Malam minggu.
Sama sekali tidak ada yang spesial di malam ini. Seperti malam-malam lainnya, aku duduk di depan meja belajarku sambil berlatih mengerjakan soal-soal. Kebetulan malam ini aku sedang mengerjakan soal fisika yang pernah dibahas bu Endang beberapa hari yang lalu.
Aku hampir selesai mengerjakan salah satu soal tentang Frekuensi Gelombang sebelum suara ketukan pintu kamar menginterupsi pekerjaanku.
"Masuk". Sahutku tanpa mengalihkan pandanganku dari buku kerjaku.
Terdengar suara decitan pintu dibuka dan suara langkah kaki yang mendekat. Aku melirik dan melihat ibu berjalan menghampiriku, membuatku sedikit terkejut. Yah, aku sedikit heran tetapi juga senang karena beberapa hari ini ibu dan ayah lebih sering di rumah –maksudku hanya saat malam saja, kalau pagi mereka tetap bekerja. Tapi tetap saja itu membuatku heran karena tidak biasanya mereka punya waktu untuk sekedar makan malam dirumah apalagi sekarang ibu datang menghampiriku ke kamar. Tidak biasanya.
"Ada apa, bu?". Aku bertanya saat ibu sudah berada di sampingku dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.
Aku tahu kenapa ibu tersenyum seperti itu. Pasti karena ia senang melihatku sedang belajar. Memang aneh, karena seharusnya jika ibuku adalah orang tua yang normal, maka ia akan berdecak dan berkacak pinggang seraya mengomel karena di malam minggu yang syahdu ini aku sebagai seorang gadis remaja hanya menghabiskan waktu dikamar, dengan belajar pula. Tapi begitu lah, ibuku bukan seperti ibu normal kebanyakan.
Mudah-mudahan yang diatas itu bukan termasuk perbuatan mencela orang tua, karena aku tidak mau terkena karma.
"Tidak papa. Ibu hanya ingin melihat apa yang kau lakukan selama berjam-jam di kamar. Ibu senang ternyata kamu belajar". See?
Aku kembali menghadap ke soal yang tadi aku kerjakan, "Tentu saja aku sedang belajar bu, memang aku harus apa lagi". Jawabku dengan sedikit miris, tapi sepertinya ibu sama sekali tidak menangkap nada terselubung itu.
Aku kembali berkutat dengan soal-soalku, membiarkan ibu diam memperhatikanku hingga akhirnya beliau bersuara, "Kalau udah selesai ngerjain soalnya, segera turun ke bawah. Ada temen kamu nungguin".
Aku mengernyit, perhatianku sepenuhnya teralihkan dari soal-soal fisika yang sedari tadi membuaiku. Teman? Maksudnya Yessi? Kenapa ngga langsung di suruh masuk kamar aja kayak biasanya?
"Minta Yessi langsung masuk ke kamar aja, Bu". Ibu yang tadi sudah berjalan meninggalkanku kini berhenti tepat di depan pintu dan kembali menghadapku.
"Bukan Yessi dan dia seorang laki-laki". Ucap Ibu sebelum benar-benar keluar dan menutup pintu kamarku.
Aku melongo mendengar jawaban ibu. Bukan Yessi? Lalu siapa? Terlebih, seorang laki-laki? Terakhir kali yang aku tahu, laki-laki sama dengan cowok kan? Like.... What? Sejak kapan ibu membolehkan seorang cowok datang menemuiku? Namun bukan hanya itu masalah besarnya, hal lain yang menjadi pertanyaanku adalah, sejak kapan aku punya teman seorang cowok?!
Tanpa mau berpikir lebih panjang, aku segera berlari keluar kamar menuju ke lantai dasar. Dari undakan tangga, aku sudah bisa melihat laki-laki –ini beneran laki-laki, dengan kaos garis-garis panjang duduk di sofa membelakangiku.
Aku menyipitkan mataku, semakin penasaran terhadap siapa laki-laki yang berani-beraninya mengaku sebagai temanku dan dengan mengejutkannya di persilahkan masuk oleh ibu.
Semakin mendekat, aku semakin merasa familiar dengan punggung itu. Wangi parfum yang tercium juga menguatkan keyakinanku. Mungkinkah??
"Derren?". Aku memekik tertahan ketika melihat Derren sedang duduk anteng di sofa rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sunshine
Teen FictionKau datang seperti sebuah sinar kecil yang menyinari hidupku. Kau hadir seperti sebuah cahaya bintang yang menyinari gelapku. Aku menemukanmu, membuatku membuka ruang kecil dalam hatiku. Aku membutuhkanmu untuk terus menerangi dan mewarnai hari-hari...