Raga terjaga lagi ketika waktu baru merangkak 1 jam dari tengah malam. Untuk sesaat laki-laki itu hanya terdiam untuk meredakan napasnya yang memburu. Dalam bola maniknya hanya terlihat kosong menatap ke plafon putih kamarnya. Keringat sudah memenuhi permukaan wajah dan tubuhnya.
Raga tidak tahu kenapa mimpi-kejadian yang terulang lewat mimpi tepatnya- itu terus datang. Laki-laki itu memejamkan matanya sebelum bangkit duduk. Dengan pelan Raga menyibak selimut yang menutupi kakinya.
Raga membuka pintu kamarnya sepelan mungkin, meskipun tetap saja ada bunyi yang terdengar. Mungkin karena hari sudah malam dan sekarang orang-orang sudah tertidur.
Namun bukan berarti Raga mengira tidak ada orang yang tahu apa yang sering dilakukannya tengah malam begini. Biarpun itu hanya seorang. Mereka pasti terjaga karenanya.
Raga membuka ruang yang jarang orang rumahnya masuki. Karena memang ruangan itu adalah miliknya. Raga hanya mengijinkan Mbak Imel masuk sekali-kali hanya untuk membersihkan ruangan itu. Ya, dia tidak tahu saja kalau Ray pernah menyelinap diam-diam di sana. Ray bahkan mengikuti Raga ketika laki-laki itu naik ke tangga yang ada di ruangan itu, yang mengantarkannya ke atap rumah.
Sensasi dingin langsung dirasakan Raga begitu kakinya menginjak atap. Raga berjalan lebih ke tengah, di tempat yang paling tinggi dan mendudukkan dirinya di sana.
Masih terlalu larut, bahkan suara hewan-hewan malam juga masih terdengar. Tapi lagi-lagi itu semua dihiraukan oleh Raga. Hanya di tempat ini dia bisa merasa tenang setelah dihantui mimpi buruk.
"Kenapa Bumi suka sekali tinggi? Kan nanti kalau jatuh gimana?"
"Ya sakit dong, Langit."
"Aduh Bumi. Kan aku serius."
"Aku juga serius Langit. Kalau jatuh kan memang pasti sakit. Coba deh kalau kamu nggak percaya."
Tangan Raga memeluk lutut yang dia tekuk. Dia meletakkan dagu di atas lututnya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan, seperti tengah menerawang. Menjelajah kembali waktu ke belakang.
"Gue nggak bisa." Kalimatnya hanya menyerupai bisikan lirih. Sesak di dadanya yang membuat Raga tak mampu berucap dengan benar. "Jangan lagi."
"Kamu jangan sedih ya. Biarpun sekarang semua orang lagi nakal sama kamu. Tapi Ara nggak akan nakal sama Langit."
"Nggak mau. Aku nggak suka sama orang yang seenaknya bilang nggak akan ninggalin aku, tapi akhirnya pergi."
"Ara bener-bener akan selalu ada buat Langit, apapun yang terjadi."
Saat itu Raga mungkin masih terlalu kecil untuk memahami aa yang terjadi. Raga terbangun dan semua orang mendadak mendiamkannya. Dan Raga telah kehilangan seseorang yang berarti untuknya.
"Jangan kembali."
.
.
."Lo gapapa?"
Raga mengangguk. Melirik sekilas pada Banyu kemudian kembali menghadap ke depan. Raga tidak mau sampai kena hukuman sama Pak Adam, dosennya yang satu itu suka tidak kira-kira kalau memberi hukuman.
"Tapi muka lo pucet. Keringetan juga. Mending ke UKS aja, Ga."
"Gue nggak papa, Nyu. Cuma-shh."
Raga memejamkan matanya spontan. Banyu benar dan Raga berbohong. Raga memang merasakan sakit. Sakit yang tak tertahankan. Banyu langsung kelabakan panik mendengar desisan Raga. Laki-laki itu rasa ini sudah tidak beres.
"Kita ke UKS, please, nggak ada bantahan."
"Gu-gue... Ka-ki gue sa-kit."
"RAGA!"
Banyu berteriak. Merasa terkejut karena tiba-tiba tubuh sahabatnya itu limbung ke samping. Tindakan Banyu itu langsung menjadikan mereka pusat perhatian seisi kelas, termasuk Pak Adam.
Dafa berdiri hingga kursi yang ditempatinya terjungkal. Dia berlari ke arah dua sahabatnya berada. Panik, itulah yang Dafa rasakan sekarang.
"Ga, bangun!"
Banyu menggigit bibirnya. Dia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa Raga butuh tindakan segera. Saking cemasnya, Banyu hanya menepuk pipi pucat Raga untuk menyadarkan laki-laki itu. Tanpa tahu bahwa itu pun percuma.
Dafa tergugu ketika sampai. Raga benar-benar pucat dan keringat dingin telah membasahi wajahnya. Tatapan Dafa kemudian jatuh pada tangan Raga yang terkulai. Tubuh itu lemas.
Dengungan suara teman satu kelas tidak mengusik Banyu juga Dafa sama sekali. Sampai Banyu merasakan tubuh Raga yang direnggut dari pelukannya, mereka akhirnya sadar. Ray datang, entah hanya kebetulan atau memang Tuhan menakdirkan Ray melewati kelas adiknya. Hingga dia mendengar suara Banyu memanggil keras nama Raga, Ray tak tanggung-tanggung bergerak cepat menghampiri kerumunan di dalam kelas itu.
"Biarkan Ray yang mengurus Raga. Kalian kembali ke tempat masing-masing."
Dafa ingin beranjak menyusul, tapi berhenti karena teguran dari Pak Adam. Lesu, Dafa lantas mengangguk dan kembali ke bangkunya. Dengan bertumpuk rasa cemas yang mengganggu pikirannya.
Banyu menatap bangku tempat duduk Raga tadi. Hatinya sakit melihat sahabatnya yang kesakitan. Dan Banyu tidak bisa melakukan apapun untuk mengurangi rasa sakit Raga.
"Maafin gue Ga."
.
.
.Ray mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Hari sudah siang dan seperti biasa jalanan selalu ramai. Meski khawatir, Ray tidak mau mengambil resiko terjadi kecelakaan kalau dia ugal-ugalan.
Laki-laki itu menggenggam tangan adiknya. Sesekali menengok ke samping kirinya demi melihat wajah pias Raga.
"Gue tahu lo pasti kuat. Jadi jangan coba-coba buat pergi, sialan!"
"Gue emang bukan kakak kandung lo, tapi gue tetep kakak lo. Lo harus bertahan, ini perintah."
Ray hanya bisa mengumpat dalam hati. Melihat Raga yang kepayahan mengambil napas saja rasanya membuat Ray sakit. Bagaimana jika Ray akhirnya harus kehilangan adik tunggalnya itu.
"Lo harus tau, gue sekalipun nggak pernah benci sama lo." Ray menghela napasnya. "Gue tahu lo benci gue karena nganggep semua yang lo punya gue ambil. Tapi nggak, Ga. Lo masih punya semuanya."
Setetes air jatuh dari mata gelap Ray. Jika dipikir lagi, kenangan yang dia punya bersama Raga tidak ada yang indah untuk diingat.
"Lo mugkin menganggap kehadiran gue ini salah. Tapi gue nggak, gue bahagia bisa kenal lo. Dan gue lebih bahagia karena tahu ternyata gue kakak lo. Gue bahagia walaupun harus ngerasain sakit ketika lihat tatapan lo ke gue."
Ray merasakan jemari yang dia genggam bergerak. Beberapa saat terdengar suara lenguhan yang terdengar sangat kesakitan.
"Ga? Lo sadar?"
Raga tidak membuka matanya. Tapi Ray tahu kalau Raga sudah sadar. Terbukti dari remasan yang diterima oleh tangannya. "Bagi ke gue, Ga. Jangan lo tahan sendiri."
Raga masih menggeliat. Sakit, semua tubuhnya kelu. "S-sakit..."
"Lo tahan, jangan tidur. Bentar lagi kita sampe." Dan dengan itu, Ray semakin menginjak pedal gasnya dalam. Dia tidak peduli apapun lagi sekarang. Hati Ray hanya mendengungkan satu kalimat; Raga harus baik-baik saja!
.
.
.T o B e C o n t i n u e
Senin, 29 Januari 2018
Sign,
Jenny Evelyn

KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA ✔
Novela JuvenilAmazing cover by Kak @rishapphire I am tired of this place I hope people change I need time to replace what I gave away And my hopes, they are high, I must keep them small Though I try to resist I still want it all ? Troye Sivan - Fools ? #913 in T...