[08] Why I am Still Alone?

8.6K 683 34
                                    

Raga terbangun, bukan di kamarnya ataupun salah satu ruangan di rumah sakit. Raga masih sangat sadar dengan apa yang tadi dilakukannya. Laki-laki itu menghela napasnya merasakan tubuhnya seringan kapas.

Raga mendudukkan dirinya. Mengelilingi setiap sudut tempat itu dengan matanya. Meski hanya diam, tapi laki-laki itu sedang menahan kesal juga. Apa setelah di dunia dia selalu ternomor duakan, selalu menjadi pihak disalahkan, di kehidupannya setelah matipun Raga tersesat di tempat aneh ini? Yang dia tahu, surga itu indah atau neraka itu mengerikan. Dan tempatnya sekarang ini terlalu monoton untuk menunjukkan bahwa dia sedang berada di surga ataupun di neraka.

"Sampai gue matipun, Tuhan masih berlaku nggak adil sama gue?"

"Kamu enggak akan ditempatkan di surga ataupun neraka seperti yang kamu mau, karena itu bukan tempat kamu."

"Maksud lo gue belum mati?" Dia mengangguk. "Kalau belum, lalu kenapa lo ada di sini, hm, Bumi?"

Bumi yang sudah mengambil posisi duduk memandang ke arah Raga. Dia menghela napasnya. "Karena aku satu-satunya orang terdekat kamu. Ini bukan tempat kamu karena belum saatnya kamu ada di sini, Langit. Semesta belum mengijinkan."

"Setelah semua apa yang terjadi, lo masih bisa bilang sebagai orang terdekat gue? Enggak segampang itu, Bum."

Bumi terdiam.

"Gue akan tetap di sini. Kalau perlu gue mau pergi lebih jauh lagi dari ini." Raga tahu Bumi tengah memandangnya, namun dia tidak peduli. Tetap diarahkan kepalanya untuk menghadap ke depan.

"Dulu lo selalu janji, akan jadi satu-satunya orang yang ada saat gue butuh. Tapi nyatanya lo malah pergi ngebawa kebencian buat gue. Dan lo tahu, sejak saat itu gue akan mau percaya sama orang yang janji-janji sama gue. Semua yang kalian bilang itu bullshit."

"Lang, please kamu kembali buat aku. Buat Ara yang nungguin kamu. Buat Mama dan Papa. " Bumi memohon. Suaranya mencicit lirih. "Aku enggak pernah benci sama kamu, kematianku bukan salah kamu. Jadi tolong kamu berhenti buat nyakitin diri sendiri dengan merasa bersalah."

Raga menggigit bibirnya. "Kenapa, Bum? Kita ini saudara kembar, kan? Kita hidup di rahim sama-sama, lahir sama-sama dan hidup bareng dalam satu kasih sayang Mama Papa. Tapi kenapa kita enggak mati sama-sama? Kenapa cuma lo?"

Raga menolehkan kepalanya. Menatap Bumi yang juga sama tersakitinya. "Why I am still alone?"

Bumi menggeleng. "Maaf, Lang."

"Gimana rasa sakitnya dilupain sama orang yang lo sayang? Lo tahu, Ara kembali dan dia lupa sama gue.

"Gue capek selalu sendirian. Mungkin sampai mati pun, takdir gue akan selalu sendirian. Nggak seperti lo yang dapat banyak perhatian."

Suara Raga tercekat. Dia menangis lagi. "Lo boleh bilang kalau gue berlebihan atau apa, tapi gue mau ini segera berakhir."

"Nggak!" Bumi berteriak. "Kamu nggak boleh di sini, Lang! Kamu harus kembali!"

Raga sudah membulatkan tekadnya. Tidak peduli Bumi yang akan melarangnya sekeras apapun. Laki-laki itu menghadapkan kepalanya ke depan, saat itu juga dia melihat dua pintu berdiri kokoh di sana, yang sebelumnya lolos dari penglihatannya.

Raga menghapus air matanya lantas berdiri. Berjalan menghampiri dua pintu itu. Sementara di belakangnya Bumi sudah meraung-raung.

"LANGIT! ENGGAK!"

RAGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang