[15] Good (Bad) Day

6.9K 510 7
                                    

Valen menatap pantulan dirinya pada cermin besar di hadapannya. Sosok familiar tertangkap oleh manik cokelat. Rambut lurus yang biasa terikat satu atau digerai asal sekarang di bentuk ponytail anggun, wajahnya terpoles make up tipis namun terlihat indah. Tubuhnya dibalut gaun selutut berwarna peach. Kulit putihnya terlihat sungguh menawan.

Bumi seolah berotasi dengan cepat. Tanpa terasa 57 hari terlewati sejak pertama kali kedatangannya di rumah ini.

Kurang dari dua jam lagi, Valen akan resmi menjadi tunangan Raga. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Dada Valen tidak berhenti berdebar sejak tadi. Membayangkan terdapat cincin melingkar sebagai pengikat antara dirinya dengan Raga, membuat jantung Valen melonjak-lonjak.

Bibir Valen melengkung membentuk kurva ke atas. Menatapi bayangan dirinya yang nampak sempurna di kaca. Valen sungguh berterimakasih kepada penata riasnya, berkat perempuan itu dia dapat mempersembahkan penampilan berbeda yang tidak pernah dilihat Raga.

"Bentar ya, Mbak. Saya keluar dulu."

Valen mengangguk. Sekarang tinggallah dia sendiri di kamarnya. Valen meraih ponsel di ranjangnya, membuka aplikasi kamera.

Pintu kamar kembali terbuka, dan Papanya masuk kemudian. Valen tersenyum kecil pada laki-laki yang memiliki kemiripan wajah dengannya itu.

"Cantik banget anak Papa." Valen terkekeh. Perempuan itu berbalik, tidak enak rasanya kalau dia tetap duduk dan memunggungi ayahnya.

"Mama kemana, Pa?"

"Di luar. Masih ngobrol sama Tante Utari."

Valen membulatkan bibir, tanda mengerti. "Raga gimana?"

"Udah hampir selesai siap-siap." Valen merasakan rambutnya dibelai. "Papa senang akhirnya hari ini tiba. Setidaknya kamu menjadi milik orang yang Papa percaya bisa menjaga kamu."

Valen mengangguk. "Aku juga senang, Pa. Karena aku sayang sama Raga."

"Rasanya enggak percaya sekarang kalian sudah segede ini. Padahal dulu Papa masih lihat kamu dan Langit yang manis. Hah, waktu cepat banget berlalu, kalian bahkan sudah sampai sejauh ini."

Valen tersenyum. Dia kembali menatap cermin di belakangnya. Benar, dia sudah sampai sejauh ini. Jadi, Valen tidak perlu ragu. Valen harus percaya bisa menemukan kebahagiaannya bersama Raga.

***

Raga menyalakan air di wastafel, membasuh tangannya yang berkeringat. Sesaat dia hanya terdiam menatap pantulan dirinya di cermin. Make up yang dia pakai berhasil menyamarkan rona pucat dan warna hitam di sekitar matanya. Raga terlihat lebih segar, meski hanya sedikit.

Raga menghela napas. Dibalik sifat tenangnya, dia sudah berhasil membohongi orang-orang tentang kondisinya yang sebenarnya. Dahi Raga mengernyit, merasakan sakit yang tiada terkira. Sakit itu menjalar ke seluruh tubuh.

Sekali lagi Raga menghela napas. Dia tidak boleh mengacaukan hari ini. Hari bahagia Valen, perempuan yang dia sayangi, dan tentu saja hari bahagianya juga.

"Bumi," Raga merintih. Mencengkeram sisi wastafel. "Sekali aja, gue mohon, pinjami gue kekuatan lo."

Raga memejamkan mata. Berulang kali mengatur napas. Setelah merasa lebih baik, Raga memantapkan diri keluar dari kamar mandi. Karena kalau tidak salah perhitungan sebentar lagi acara akan dimulai.

"Lo enggak apa-apa?"

Raga mengangguk pelan, tapi Ray tahu kalau adiknya sedang menyembunyikan suatu hal. Ray berjalam berdampingan dengan Raga, memegang lengan Raga. Di depannya Banyu dan Dafa seolah melindungi Raga dari tatapan orang-orang. Jujur saja mereka berdua juga merasakan kekhawatiran yang sama seperti Ray, terlebih melihat wajah Raga yang pucat dan keringat dingin mulai membasahi wajah Raga.

"Raga!"

Banyu dan Dafa sontak berbalik ke belakang. Mata lemah Raga yang tetap berusaha untuk membuka adalah hal pertama yang mereka lihat. Ray sebisa mungkin menahan bobot Raga yang semakin memberat, karena kesadaran laki-laki itu yang mulai timbul tenggelam.

"Ga, lo nggak papa?! Ga, please jangan kayak gini. Lo nggak mau hancurin hari bahagia lo, kan? Ga, bangun!"

Napas Raga tercekat, tatapan matanya memburam. Guncangan yang dia rasakan perlahan menghilang. Tubuhnya melemas dan telinganya berdenging.

Di sisa kesadarannya Raga seolah mampu melihat klise-klise memori yang pernah terjadi. Masa kecilnya ketika Buni pertama kali mengajaknya melihat sunrise, ketika Bumi mengenalkannya pada gadis kecil secantik boneka. Hubungan mereka yang berlalu manis bak peremen lolipop. Sampai kecelakaan itu yang merenggut kebahagiaannya.

Pertemuannya dengan Ray, hingga kenyataan bahwa mereka ternyata bersaudara. Kembalinya Valen, si gadis kecil dalam masa lalunya.

Bagaimana tawa dan tangis yang sudah dia buat untuk Valen. Semuanya terlihat sangat jelas.

"Raga! Jangan tidur, atau gue bakal marah. Gue enggak akan maafin lo kalau lo tidur! Raga!"

Semakin keras usaha Raga untuk tetap membuka mata, seakan badai menerjang kesadarannya. Raga malah semakin melemah dalam rengkuhan Kakaknya. Suara tangis Ray yang berhasil Raga tangkap, membuat dada laki-laki itu bertambah sesak. Ray bukan tipe orang yang gampang menangis, dan sekarang kakaknya itu menangis karena dirinya. Raga tidak menyukai itu.

"RAGA!"

***

Valen tidak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Dengan mata yang berkaca dia menunduk, menatap ke tangan yang terkulai di ranjang.

Hari yang dia kira akan menjadi awal kebahagiaannya ternyata hancur. Bukan Valen sedang menyalahkan Raga ataupun takdir, Valen hanya menyalahkan keadaan yang membuat semuanya jadi seperti ini.

Melihat wajah pucat Raga beberapa waktu lalu, kemudian dia hanya dapat terpaku begitu pintu berhasil terbuka. Dengan langkah yang sedikit terseret Valen bergerak menuju tubuh Raga terbaring.

Dingin, begitu yang dia rasakan. Betapa lemahnya Valen melihat Raga tidak berdaya.

Raga tidak mampu melakukan apapun, laki-laki itu hanya pasrah. Tubuhnya seperti terjerat oleh alat yang membantu menahan nyawanya.

Tidak tahu berapa jam sudah berlalu, namun langit sudah menggelap. Tubuh Valen berbalut jaket milik Ray yang sempat dipinjamkan oleh laki-laki itu. Valen menuju kesini dalam keadaan kacau, tanpa menghapus make up yang setengah luntur karena menangis atau tanpa berganti baju.

Perlahan Valen menggerakkan tangannya menggenggam Raga. Tanpa bicara seolah dia mengatakan perasaannya kepada laki-laki itu. Tidak tahan, satu isakan lolos dari bibir Valen. Saling bersahutan dengan monitor EKG dan bunyi desahan napas Raga dari ventilator.

Jadi, apakah seperti ini akhirnya? Pada nyatanya, kebahagiaan belum dapat menjamah kehidupan mereka.

T o  B e  C o n t i n u e

Menuju ending?

Selamat malam teman-teman yang baik, ada yang masih ingat sama cerita ini? Maafin aku yang kemarin tiba-tiba menghilang ya. Soal yang di atas, RAGA emang udah mau tamat. Tinggal 2 chapter plus epilog.

Aku sengaja tamatin cerita ini lebih awal sebelum aku fokus ke UAS, simulasi-simulasi, try out, US dan UN yang akan dimulai bulan Desember nanti. Biar aku juga nggak kepikiran karena punya janji update. Mohon pengertiannya ya teman-teman.

Dan, jangan lupa vote dan komennya ya...

Jenny Evelyn
19 November 2018

RAGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang