[17] Last But Not Least

9.2K 525 51
                                    

"Lang, Langit! Bangun!"

Raga membuka matanya perlahan, merasakan guncangan yang semakin lama semakin cepat.  Laki-laki itu mengerjap, membersihkan sisa-sisa kabut mimpi. Suasana kamarnya lah yang dia tangkap pertama kali.

"Bumi?"

"Lo itu tidur kayak orang mati, susah banget dibangunin." Bumi melipat bibirnya. Sementara Raga mengernyit. Pasalnya Bumi yang dia lihat ini berwujud laki-laki dewasa, berbeda dengan Bumi yang dalam ingatannya.

"Kenapa sih? Ngelihatin guenya begitu banget?"

Raga menggeleng. "Enggak, tapi, ini beneran lo? Kenapa badan lo jadi gede?"

"Hah?" Kali ini Bumi yang dibuat heran dengan saudara kembarnya. Bumi meletakkan tangannya di dahi Raga, lantas di dahinya sendiri. Suhunya baik-baik saja. "Lo masih mimpi ya? Ya jelas lah badan gue udah gede, orang umurnya juga bertambah kok. Lo sendiri juga gitu, kan."

"Tapi,"

"Udah deh, nggak usah tapi-tapian. Cepetan bangun. Lo kan kudu siap-siap, acaranya tuh bentar lagi mulai. Malah lo masih asyik tidur-tiduran."

"Acara?"

"Jangan-jangan lo jadi amnesia juga ya gara-gara semalam kejedot. Aduh, udah dibilangin jangan main lempar-lemparan juga kalian ini." Bumi berdecak. Merasa tidak ada gunanya bercanda dengan Raga di saat seperti ini, Bumi menarik saudara kembarnya untuk bangun.

"Enggak perlu mikirin yang macam-macam di hari spesial lo ini, oke? Gue tungguin di bawah. Banyu sama Dafa juga udah datang, lagi ngobrol sama Kak Ray. Valen aja udah siap dari tadi. Gara-gara lo ini, acara penting begini malah bangun siang."

Raga bergeming. Bumi jadi geregetan sendiri dengan Raga. Niat hati ingin mendorong Kakaknya menuju kamar mandi urung saat mendengar lirihan Raga.

"Gue enggak ngerti, Bum."

"Ngerti apaan?" tanya Bumi tak sabaran.

"Bukannya lo udah pergi? Terus gue, bukannya gue juga udah mati? Gue lihat Ray sama Valen nangis karena gue. Gue udah bikin Papa dan Mama kecewa. Gue udah hancurin kebahagiaan Valen. Gue enggak ngerti kenapa sekarang gue ada di sini, bahkan lo juga ada di sini."

"Ngaco lo. Udah nggak usah dipikirin, mungkin lo cuma mimpi."

"Mimpi ya?" Tatapan Raga menerawang ke depan. "Kenapa rasanya sangat nyata?"

Bumi jadi serba salah sekarang. Raga hanya terdiam di tempatnya dengan mata kosong. Apa seburuk itu mimpi yang dialami saudaranya? Bumi menghela napas. Kedua tangannya dia naikkan di bahu Raga, yang 5 centi lebih tinggi darinya.

"Lo cuma mimpi. Mimpi itu cuma bunga tidur. Mungkin gara-gara semalam lo lupa baca doa. Makanya kalau mau tidur itu doa dulu, deh. Sekarang gini aja, lo enggak perlu khawatirin apa-apa.

"Lo lihat gue ada di sini kan? Gue baik-baik aja. Dan lo juga pasti bakal baik-baik aja. Lo enggak bikin Kak Ray dan Valen nangis, justru mereka bisa tersenyum karena lo. Dan lo enggak pernah kecewain Mama Papa seperti gue yang kecewain mereka. Lo itu anak paling membanggakan buat mereka. Lo percaya kan sama gue?"

Raga masih tidak percaya, bahwa semua yang dia alami itu adalah mimpi. Dia sekarang bisa melihat Bumi, orang yang dia sayangi, seseorang yang menjadi alasan hilangnya Langit. Matanya berlinang melihat Bumi yang tersenyum padanya.

RAGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang