[14] Memori di Atas Brankar

7.5K 516 13
                                    

Diluar masih gerimis. Sejak Subuh tadi hujan turun lebat. Suasana sekitar jadi tidak seramai biasanya, karena mungkin mereka malas keluar saat musim hujan seperti ini. Angin di musim ini selalu mampu membuat orang-orang kedingininan secerah apapun cuacanya.

Raga bisa melihat bias-bias tipis cahaya matahari dari gorden jendelanya. Tubuhnya menggulung di dalam selimut. Matanya masih belum menemukan fokus dan semakin lama malah semakin memburam. Ada yang salah di sini.

Raga mencoba untuk beringsut. Namun sedikitpun tubuhnya tidak mau sinkron dengan apa yang diperintahkan otaknya. Raga menarik napas panjang, sesak. Meski ini adalah hal yang familiar baginya, tetap Raga tidak menginginkan untuk berada di situasi seperti ini-lagi.

Bola mata Raga berputar. Menuju pintu kamarnya yang tertutup. Matanya benar-benar sudah kehilangan fokus. Dalam hati dia mengingat, apakah semalam dia mengunci pintu kamarnya? Raga harap tidak. Atau dia akan ditemukan sudah kaku di dalam kamar ini tanpa ada seorangpun tahu.

Raga mengernyit merasakan nyeri yang menyerang lututnya hingga kaki.

Cukup lama Raga hanya memandangi pintu kamarnya, sampai mata itu akhirnya tertutup. Raga tidak dapat melihat, mendengar dan merasakan apapun lagi. Semuanya senyap baginya. Seolah dia hidup di tempat yang mati.

***

"Lo udah bangun?"

Saat matanya mulai mendapat fokus kembali, yang Raga dapati pertama adalah langit-langit kama rawat di sebuah rumah sakit. Tempat yang sudah sering dia datangi. Raga menghela napas singkat. Cukup bersyukur ada yang menemukan dirinya.

Raga melirik ke samping. Valen ada di sana. Duduk di bangku samping ranjangnya. Tersenyum manis. Dada Raga menghangat, meski sekujur badannya serasa nyeri tidak terkira.

"Berapa lama?"

"Sehari semalam. Lo gapapa? Mau gue panggilin dokter?"

Raga menggeleng. "Enggak usah. Gue mau minum aja."

Valen mengangguk. Perempuan itu meraih gelas plastik dan mengisinya dengan air putih. Kemudian dia membantu Raga untuk duduk, Valen menambah bantalan di punggung Raga sehingga laki-laki itu merasa nyaman.

Dengan perlahan Valen menyendokkan air tadi dan menyuapkan pada Raga. Valen tahu, napas Raga masih belum kuat kalau harus minum melalui sedotan atau dari gelas langsung.

Raga menggeleng tanda menyudahi dahaganya. Laki-laki itu melirik ke sekitar, sepi. "Mama kemana?"

"Tadi ke kantin sama Ray dan Om Gio."

"Lo udah makan?"

Valen mengangguk. Perempuan itu tersenyum. Rasa hangat menelusup ke dalam dadanya. Bahkan saat sedang sakit pun, Raga tetap perhatian padanya.

"Syukur, deh. Gue enggak mau lo ikutan sakit karena gue."

Tidak berapa lama, Raga dan Valen menoleh saat mendengar pintu ruang rawat Raga terbuka. Ray dan Wulan yang masuk.

Valen mengernyit bingung. "Hei, Lan. Lo kok di sini?"

Wulan tersenyum. Dia merangkul lengan Ray yang pasrah setelah capek berontak. "Hehe, iya. Tadinya gue lagi jengukin saudara. Malah ketemu pacar di sini. By the way, cepat sembuh ya adik ipar."

Raga sedang menahan untuk tidak meledakkan tawanya sekarang. Dia tahu kalau Ray cukup populer di kalangan cewek, selain karena ganteng-sebenarnya Raga malas mengakui ini-, saudaranya itu orang yang cukup aktif dan berprestasi di kampus. Ya, enggak berbeda jauh sih dengan Raga.

Namun Raga belum pernah melihat perempuan sejenis Wulan ini. Tapi dengan begini, Raga jadi yakin kalau Wulan tulus sama kakaknya. Buktinya dia tetap tersenyum walaupun sudah dijuteki.

"Makasih ya, kakak ipar." Raga menekankan kalimatnya. Bibirnya membentuk senyum melihat Ray yang melengos tidak terima. Rasanya asyik menistakan kakaknya itu.

"Mama Papa kemana Ray?"

"Tadi pas mau balik ke sini, Dokter manggil mereka. Mungkin mau bicarain kondisi lo."

Raga mendesah. Tanpa dibicarakan pun Raga sudah tahu bagaimana kondisinya. Dengan mendengar keterangan dari dokter, malah semakin mematahkan semangatnya. Raga melirik Valen, perempuan itu mengelus lengannya. Memberikan senyum terbaik, dengan harapan mampu merilekskan pikiran Raga.

"Udah, jangan pikirin apapun dulu. Kamu istirahat lagi gih."

Raga mengangguk. Valen membantunya untuk kembali berbaring. Sebelum Raga memejamkan matanya, Ray mendekat setelah melepas rangkulan Wulan. Dia menepuk bahu Raga. Memberikan semangat.

"Istirahat, Ga. Gue lebih rela lo nistain gue, jutekin gue, atau marahin gue. Tendang atau pukul gue juga boleh kok. Timbang lihat lo lemas gini."

Raga tersenyum setan. Dia malah terbayang hal-hal yang akan dia lakukan untuk membully Ray ketika sudah sembuh nanti.

"Tunggu aja ntar gue sembuh, gue kabulin dah permintaan lo."

Detik itu juga Ray menyesal mengucapkan itu. "Dijabanin juga sama nih bocah satu. Adek laknat emang dia."

***

Saat Raga bangun kembali, hari sudah gelap. Raga tidak tahu sekarang sudah pukul berapa. Tetapi kamar rawatnya terlihat sepi. Raga menarik napas. Dia sebenarnya tidak apa ditinggal, toh kalau ada apa-apa dia bisa panggil suster.

Sejak kecil rumah sakit sudah menjadi tempat paling sering dia kunjungi setelah rumah dan sekolah. Dibandingkan dengan Bumi, Raga memang memiliki tubuh yang lebih lemah. Itulah sebabnya dia selalu menurut dengan apa yang dibilang orangtuanya.

Hingga semenjak divonis sebagai penderita cancer beberapa tahun lalu, tempat ini sudah berubah menjadi rumah keduanya.

Sebenarnya Raga membenci rumah sakit. Dia benci dengan aroma kimia yang membuatnya mual, benci dengan suasana tempat ini yang selalu suram dan benci karena rumah sakit selalu menjadi tempat bagi seseorang kehilangan.

"Ma," Langit menarik ujung kaos Utari. Dia baru saja sadar dan tidak menemukan siapapun dikamarnya. Lantas dia meminta sopir untuk mengantarnya mencari Mama. Hingga disinilah tempatnya berada sekarang.

Rumah sakit.

Utari melirik Langit kecil dalam balutan piyama tidurnya. Tadi dia  meninggalkan Langit masih dalam keadaan pingsan. Tidak ada lagi yang bisa dia pikirkan dan terburu-buru membawa Bumi ke rumah sakit.

Utari merengkuh Langit ke dalam pelukannya. Dia tahu banyak yang tengah dipikirkan putranya itu. Langit mungkin merasa sedikit bingung.

"Bumi mana, Ma?"

Utari hanya menggeleng. Dia tidak sanggup mengatakan apapun. Sampai sedetik kemudian tangisnya pecah.

Langit melepaskan pelukan Utari. Dia melangkah dengan kaki-kaki kecilnya mendekati pintu ruangan yang dia tidak tahu apa itu. Langit menjinjit, melihat dari balik kaca.

Anak itu mengernyit mendapati dirinya yang lain berada di sana. Sedang tidur. Tubuhnya dililiti kain berwarna putih di beberapa area, juga banyak kabel warna-warni mengelilingi tubuh Bumi.

"Bumi kenapa tidur di sini? Itu apa yang ada di badan Bumi?"

Raga menghela napas berat saat memori tentang Bumi memenuhi bayangannya. Raga menoleh ke samping, menengok melalui jendela. Entah lupa atau bagaimana, tidak ada yang menutup tirai jendelanya. Dari sana Raga bisa melihat hiruk pikuk kota Jakarta di malam hari. Masih tetap ramai.

Kemudian bola matanya jatuh pada pendar-pendar bintang di langit malam yang kelam. Raga mengepalkan tangannya. Merasakan nyeri karena emosi yang menyelebunginya.

T o  B e  C o n t i n u e

Jenny Evelyn
11 Oktober 2018

RAGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang