Gio menggenggam tangan pucat Raga. Delapan jam yang singkat bagi orang lain, tapi tidak baginya. Delapan jam itu seolah berubah menjadi 8 tahun dirinya tanpa Raga. Hanya dapat memandang tubuh Putranya yang terkulai, wajahnya pucat tak berwarna.
Mungkin, ini adalah kali pertamanya Gio 'benar-benar' mencurahkan perhatiannya pada anak itu sejak tiga belas tahun yang lalu. Dan Gio berharap untuk bisa lebih lama lagi menggenggam tangan itu.
Gio mendekatkan wajahnya pada Raga. Meneliti rupa putranya. Raga terlihat sangat mirip dengannya, dan Gio baru menyadari itu, berbeda dengan Bumi yang lebih mewarisi garis wajah Utari.
Gio tidak dapat menangis, sekuat apapun dia mencoba, dia tidak bisa. Gio merutuki dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa terlihat sangat tenang melihat keadaan putranya seperti ini? Setidaknya Gio butuh untuk berteriak, menangis, memberontak atau apapun itu.
Gio mendaratkan bibirnya di kening Raga, cukup lama. Merambatkan doa dalam setiap bisikan hatinya.
"Dulu, kamu enggak akan bisa tidur sebelum dapat kecupan dari Papa, kan?" Gio kembali duduk di kursi samping ranjang. "Papa enggak sadar kamu sudah sebesar ini. Banyak yang Papa lewatkan dari pertumbuhanmu."
Gio tersenyum miris. Setiap melihat wajah Raga, Gio seolah bisa melihat bagaimana kejadian yang merenggut nyawa salah satu putranya. Gio bukan benci dengan Raga, dia hanya tidak mengerti, hanya saja perasaan benci selalu meletup saat melihat laki-laki itu. Wajah Putranya mengingatkan dirinya dengan Raga yang lain.
"Padahal dulu kamu itu cengeng, tapi sekarang kamu menjadi sekuat ini. Bumi pasti bangga sama kamu. Ah, bukan, kami semua - Papa, Mama dan Ray - bangga sama Langit. Langit kecil Papa yang manis dan penurut."
Gio menundukkan kepalanya. "Cepat sembuh ya, Nak. Jangan buat kami seperti ini karena mengkwatirkanmu."
***
Ray duduk dalam diam di ruang tunggu. Malam semakin larut, tapi kantuk masih enggan mendatangi dirinya. Sementara Valen sudah tertidur di pangkuan Ayahnya, Om Rain namanya. Perempuan itu menolak pulang, dia ingin memastikan kalau Raga baik-baik saja.
Saat ini Papanya sedang ada di dalam. Statusnya sebagai kerabat pasien membuat Gio bebas masuk kapan saja tanpa terikat jam besuk. Sebenarnya pun sama dengan Ray, tapi laki-laki itu ingin membiarkan Papanya berbicara sebentar dengan Raga.
Ray tahu ada banyak kata yang tak tersampaikan dari bibir Gio kepada Raga. Entah itu karena apa, Ray tidak mau ambil pusing. Ray hanya berharap kalau kondisi adiknya akan membaik setelah berbicara dalam tanda kutip, nyatanya Raga hanya terdiam dan mendengarkan, dengan Gio.
Ray menghela napas pendek. Rain mengamatinya dalam diam. Anak itus sejak tadi terlihat tak nyaman, bahunya tegang. Rain geleng-geleng melihatnya.
"Ray," panggilnya mengambil atensi laki-laki di depannya. "Kamu bisa pulang atau setidaknya carilah angin dulu."
Ray mencoba tersenyum kecil, menghargai niatan baik Rain. Laki-laki itu mengangguk. Mungkin, taman rumah sakit akan menjadi tujuannya. Rumah sakit memang tempat yang terkenal sepi, tapi sebenarnya di tempat ini tidak bisa benar-benar sepi. Masih ada perawat jaga malam yang sering berkeliaran.
Lagipula rumah sakit ini letaknya dekat dengan jalan raya, jadi apa yang harus Ray takutkan? Hantu? Dia tidak percaya yang begituan. Baginya hantu itu tidak ada.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA ✔
Teen FictionAmazing cover by Kak @rishapphire I am tired of this place I hope people change I need time to replace what I gave away And my hopes, they are high, I must keep them small Though I try to resist I still want it all ? Troye Sivan - Fools ? #913 in T...