"Menurut lo, apa seseorang yang sudah lama terluka, akan mau jika diminta untuk bertahan?"
Valen hanya terdiam. Tidak mengikuti ke arah mana pembicaraan Ray. Yang perlu dia lakukan hanya mendengarkan. Valen pun tak punya tenaga untuk membalas kalimat Ray, bahkan hanya untuk sekedar iya atau tidak. Seharian ini pikirannya kalut oleh rasa takut.
"Bahkan kalau itu terjadi sama gue, mungkin gue udah milih nyerah sejak lama. Tapi Raga berbeda, Va."
Ray menghela napasnya. Valen dapat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh saudara 'tiri' Raga itu diucapkan dengan suara bergetar. Agaknya Valen mengerti bagaimana perasaan Ray, selain takut Ray juga pasti lelah.
"Hal itu masih gue yakini sampai hari kemarin. Sampai tiba-tiba Raga collapse, dan gue nggak bisa lakuin apa-apa buat ngurangin sakitnya dia. Gue takut - gue takut Raga benci sama gue dan pergi.
"Sejak awal kedatangan gue, gue emang ditakdirkan buat dibenci Raga. Gue takut Raga nggak mau dengerin omongan gue buat bertahan."
Ray mengepalkan tangannya di pangkuan. Menahan sesak, marah, dan takut. Semua rasa yang merajam dadanya sejak kemarin.
"Bilang sama gue, Raga sakit apa, Ray? Dia... kenapa dia harus pergi?"
Ray menggeleng. Menolak untuk mengatakan tentang Raga dan kehidupannya. "Itu bukan dalam hak gue."
Bahu Valen yang semula tegang melemas. Dia merasa menjadi orang paling bego di dunia sekarang. Bagaimana bisa dia menjadi istri yang baik untuk Raga nanti, kalau sakitnya laki-laki itu saja Valen tak tahu.
"Mama Utari bilang, sebelum lo ingat semuanya, Raga nggak akan ngasih tahu apapun. Dan gue, Mama ataupun Papa nggak berhak buat ngasih tahu ke elo."
Valen mendesis. Sakit hati, marah dan kecewa memenuhi dadanya. "Kenapa kalian lakuin ini ke gue? Ingat apa yang kalian maksud?!"
"Sorry, Va. Tapi emang cuma Raga yang berhak buat ceritain semuanya." Ray meraup pundak Valen dalam kungkungannya. Mata hitamnya menatap pada manik Valen yang seakan selalu menyihirnya. "Mungkin lo memang lupa, tapi sebenarnya perasaan lo tetap sama."
Sebenarnya ingatan apa yang mereka maksud?
***
Hari ke-empat setelah insiden collapse-nya Raga di kampus. Saat ini anak itu sedang duduk bersandar di kepala ranjang kamarnya. Ya kamarnya, bukan ruang rawat rumah sakit. Berterimakasihlah kepada sifat keras kepala laki-laki itu yang meminta pulang lima jam setelah sadar.
Dua hari yang dia lakukan di rumah hanya berbaring, tidur, mandi, makan dan main handphone. Bahkan makanan saja diantarkan oleh asisten rumah tangganya. Utari tidak mengijinkan sang putra melakukan kegiatan berat apalagi masuk kuliah. Aktivitas Raga hanya terbatas di kamarnya saja.
Hal tersebut membuat Valen jarang melihat keberadaan Raga. Sejak pembicaraannya dengan Ray malam itu, Valen memutuskan untuk mendekati Raga dan mencari tahu memori yang menghilang diingatannya.
Valen meletakkan kepalanya di meja makan. Menunggu Mbak Imel yang tengah membuat makan malam untuk Raga. Saat ini dia bertekad, kalau tidak bisa bertemu, dia yang akan menghampiri laki-laki itu. Ini semua demi ingatan yang sejak kemarin membuatnya penasaran setengah mati dan setengah hidup. Valen juga ingin mengetahui apa yang tengah terjadi pada calon tunangannya itu.
Dua hari terakhir ini Valen sudah jarang berkomunikasi dengan Ray. Ray selalu menyibukkan diri di kampus dengan kegiatan ini itu. Sampai-sampai Valen harus naik bus setiap akan kuliah. Valen sebenarnya tidak masalah tentang naik bus itu, tapi yang memenuhi pikirannya adalah Ray seperti tengah menjauhinya.
Valen menghela napas. Jarinya dia gesekkan di meja makan, ciri khasnya saat sedang bosan dan bingung. Memikirkan tentang Raga membuatnya mumet, ditambah lagi sikap Ray sekarang. Sebenarnya dia salah apa, coba? Oke, Valen, mendingan fokus dulu ke Raga. Batin gadis itu.
Saat mengangkat kepalanya kembali Valen melihat Mbak Imel yang berjalan menghampirinya dengan menggenggam nampan. Valen otomatis berdiri dan meraih nampan dari Mbak Imel.
"Mbak Valen yakin mau anter makanan ini ke kamar Den Raga?" Tanya Mbak Imel. Valen mengangguk pasti. Valen sudah jenuh menunggu laki-laki itu keluar kamar.
"Lagian pertunangan aku sama Dia tinggal beberapa minggu lagi. Dan aku sama Dia sama sekali nggak deket, jadi kalau bukan sekarang kapan lagi, coba?"
Mbak Imel mengangguk dan mencoba tersenyum. Memaklumi. "Ya udah, saya mau nyetrika pakaian dulu. Makasih banget Mbak Valen udah mau bantuin bawa makan malem Den Raga."
"Oke."
Setelah itu Valen langsung meninggalkan area dapur menuju kamar Raga di lantai 2.
Valen mengetuk pintu kamar Raga. Tidak mendapat jawaban setelah sepuluh menit dia membuka handle pintu kamar Raga. Pintu itu tidak terkunci, mungkin karena Raga tahu sebentar lagi Mbak Imel akan mengantar makanannya.
"Raga?"
Valen mengernyit karena ranjang Raga kosong. Tidak mungkin laki-laki itu di kamar mandi karena pintu toilet di sana terbuka. Satu-satunya yang dia pikirkan adalah balkon.
Valen meletakkan makanan Raga di nakas samping tempat tidur Raga. Pertanyaannya lagi-lagi bertambah kala matanya melihat jejeran obat-obatan di nakas itu. 'Sebenarnya Raga sakit apa? Kenapa obatnya sebanyak itu?'
Menghela napas, gadis itu menggelengkan kepalanya. Mungkin memang belum saatnya dia tahu. Ya, Valen harus menerimanya.
Valen berjalan ke arah balkon. Pintu balkon yang tidak tertutup membuat tirai sesekali tersingkap karena sapuan angin. Saat itu manik Valen dapat menangkap siluet Raga yang tengah menatap bintang.
Kenapa gue nggak asing sama keadaan ini?
"Ga, lo di sini?"
Raga menoleh. Memandangnya dengan tatapan datar seperti biasa. Valen tiba-tiba merasa kikuk sendiri.
"Lo ngapain di kamar gue?" Datar. Tidak ada nada kemarahan. Tapi membuat nyali Valen tertekan begitu dalam.
Kenapa rasanya sakit?
"Gue, itu makan malam lo."
"Mbak Imel?"
"Mbak Imel lagi banyak setrikaan katanya, jadi gue yang bawain ke sini."
Kening Raga mengernyit dan itu tidak lepas dari penglihatan Valen. Dia tidak suka ekspresi itu dari Raga. Dia lebih suka Raga yang tertawa.
Eh? Tapi kan sejak gue kesini, gue belum pernah lihat Raga senyum. Apalagi ketawa.
"Hm."
Final laki-laki itu dan meninggalkan Valen di balkon. Valen lantas mengikuti Raga memasuki kamar. Gadis itu juga menutup pintu balkon agar Raga nanti tidak perlu susah-susah menutupnya lagi.
Valen melihat Raga mengambil nampan makanannya dan dudum di sisi ranjang. Tanpa sadar Valen tersenyum.
"Bumi?"
"Bukan, Ara. Ini Langit."
Valen tersentak. Matanya mengedar. Menilik pada Raga yang tengah lahap memakan hidangannya.
"Bumi itu siapa?" Gumaman Valen hanya berupa lirihan kecil. Tapi mungkin karena jarak yang dekat, Raga dapat mendengarnya.
Laki-laki itu menegang. Sendok yang akan disuapkan ke mulutnya lolos dari pegangannya. Valen memandang heran pada reaksi Raga.
Apa hubungannya ini semua dengan Bumi?
T o B e C o n t i n u e
Sebenarnya mau update semalem tapi aku kelupaan dan akhirnya ketiduran. Sorry buat updatenya lama ya, hehe. Dan jangan lupa baca cerita baruku ya guys, judulnya "Words for Him". Kalian bisa baper-baperan dulu sama Senja dan Cherry sambil nungguin Raga, wehehe.
Jenny Evelyn

KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA ✔
Teen FictionAmazing cover by Kak @rishapphire I am tired of this place I hope people change I need time to replace what I gave away And my hopes, they are high, I must keep them small Though I try to resist I still want it all ? Troye Sivan - Fools ? #913 in T...