[11] Sunrise

7K 576 10
                                    

"Bum, kita ngapain naik ke sini. Langit takut jatuh."

Langit sekali lagi melihat ke bawah, anak itu meringis ngeri betapa tingginya tempat dia berada. Tiba-tiba saja tadi Bumi membangunkannya dan   mengajak dia ke loteng, sampai kembarannya itu membuka akses menuju atap rumahnya. Tidak tahu dari siapa Bumi mengetahui hal ini.

Bumi tertawa melihat Langit yang terlihat ketakutan. Kedua tangan kakaknya itu diletakkan di belakang, seolah sedang menahan tubuhnya. Padahal Bumi tahu kalau itu tidak akan berefek apapun.

"Ayo kita turun. Nanti Mama marah."

Langit masih berusaha membujuk Bumi turun. Langit takut nanti Utari memarahinya. Dibandingkan Bumi, Langit memang lebih  patuh dengan apa yang tidak dibolehkan oleh Mama dan Papanya.

Langit menoleh ke sekitarnya. Karena sudah dini hari, suasana menjadi gelap. Udaranya juga sangat dingin. Selain itu Langit bisa mendengar suara-suara dari berbagai arah. Jujur saja Langit merasa takut. Tidak bohong kalau dia mau kepikiran dengan kata-kata Mamanya kalau monster dan hantu selalu berkeliaran setiap malam.

"Bumi ayo masuk. Langit takut."

Bumi menggeleng. "Enggak mau, Langit. Di sini itu asyik. Kamu harus lihat nanti."

Langit merengut. Sudah bersiap menangis kalau saja dia tidak ingat ada adiknya di sana. Lantas Langit memilih diam dan memeluk lututnya sendiri.

Bumi menoleh sebentar kepada Langit. Sebersit rasa bersalah langsung menguasainya karena sudah membuat Langit ketakutan. Tapi serius dia ingin menunjukkan sesuatu pada kembarannya itu.

Berjam-jam mereka lewati dengan keheningan. Hanya ada bunyi desiran angin dan hewan malam yang menguasai.

Hingga perlahan-lahan gelap itu tertelan oleh semburat warna jingga. Langit melihat sekelilingnya. Dan Bumi tersenyum cerah.

"Langit, lihat. Itu namanya sunrise. Cantik, kan?"

Dahi Langit berkerut. "Sama kalau pas sore."

Bumi mendecak. Rupanya yang ditangkap oleh Kakaknya itu hanyalah keindahan fisik dari matahari terbit itu sendiri. Memang, banyak orang yang mengira kalau sunrise dan sunset itu sama. Sama-sama fase pergantian Bulan dengan Matahari.

Tapi bagi penikmat jingga seperti Bumi tentu saja itu berbeda.

"Beda, Langit. Coba kamu bandingkan, sunset itu dingin sedangkam sunrise hangat. Bagi Bumi, matahari terbit itu menakjubkan. Karena bukan hanya hangat yang kamu dapat, tapi setelahnya terang. Sunrise sebagai pertanda kalau matahari akan mulai menjalankan tugasnya. Coba kamu bayangkan kalau enggak ada matahari di siang hari, dunia akan gelap. Makanya Bumi lebih suka Sunrise ketimbang Sunset. Karena Bumi enggak suka gelap."

Langit hanya diam, tidak telalu peduli dengan ocehan Bumo tentang sunrise atau apalah itu. Langit menikmati senyum cerah Bumi yang menikmati pemandangan di depannya.

"Bumi ingin menjadi seperti sunrise. Seandainya kalau suatu saat kita berjauhan, Langit bisa melihat Bumi di antara warna jingga matahari terbit."

Raga tersentak dalam tidurnya. Laki-laki itu menoleh ke sekeliling, dia ada dikamarnya. Bukan di atap dan dia sendirian. Tidak ada Bumi bersamanya.

Raga menghela napas panjang. Mengusir sesak yang merongrong dadanya.

"Bum, lo bohong. Nyatanya yang gue rasakan setiap kali melihat matahari terbit hanya kosong."

Raga menyukai matahari terbit, karena Bumi menyukainya. Raga mengharapkan kehangatan matahari terbit, karena Bumi selalu bisa merasakannya. Lalu apa yang salah dengan dirinya? Kenapa dia tidak bisa mendapat apa yang Bumi dapat.

***

Valen benar-benar tidak bisa tidur. Sempat tadi beberapa menit dia terlelap, namun kembali lagi terbangun. Yang Valen lakukan sejak tadi hanya bolak-balik hadap kiri hadap kanan, duduk lalu berbaring kembali atau memainkan handphonenya. Tapi semua hal itu tidak bisa membuatnya lelah dan mengantuk.

Valen melirik jam. Sudah pukul segini tapi dia tidak bisa tidur. Padahal nanti dia ada kelas pagi.

"Oh God. Gue kenapa sih."

Valen memejamkan matanya. Berusaha untuk terlelap. Tapi sedetik setelah itu dia kembali membukanya lantaran mendengar suara pintu terbuka tepat di sebelah kamarnya.

"Raga? Dia mau ngapain jam segini?"

Valen menyibak selimutnya asal. Memakai sandal rumahnya dan keluar dari kamar.

Dari jarak yang lumayan dekat, Valen melihat punggung Raga. Perempuan itu terus mengikuti langkah Raga. Hingga Raga memasuki salah satu ruangan di lantai tiga.

"Jadi ini ruangan pribadi milik Raga yang dibilang sama Ray?"

Raga terdiam sesaat di depan pintu.  Laki-laki itu menarik napasnya. Lagi, tempat inilah yang membuatnya merasa sesak sekaligus tenang. Di tempat inilah dia merasa kehilangan Bumi, di tempat ini pula Raga merasakan kehadiran Bumi.

Selama perjalanan, Raga lewati dengan langkah yang berat. Hatinya kosong tapi bergumul banyak emosi di sana.

Valen memperhatikan sekeliling ruangan. Benar yang dibilang oleh Ray. Di sini banyak terpajang foto-foto hasil jepretan Raga dan bangau origami bermacam warna yang tergantung di setiap sudutnya.

Mata Valen lantas terpaku pada foto paling besar yang ada di sana. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Itu adalah potret mereka tiga belas tahun yang lalu. Dia, Raga dan Bumi.

Mereka terlihat bahagia di sana. Bumi dan Raga menggandengnya di samping kanan dan kiri. Dia sudah seperti seorang putri yang dikawal oleh dua pangeran tampan.

Dada Valen sesak melihat arah mata Raga bukan ke kamera. Melainkan pada dirinya. Senyum itu, dan tatapan mata hangat itu, membuktikan bagaimana perasaan Langit kecil padanya.

"Gue jahat banget karena sempat lupa sama lo, Ga." Valen tersedu. "Sedangkan lo tersiksa dengan kenangan itu, dengan janji yang udah gue ingkari."

Menghapus air matanya dengan kasar, Valen melirik tangga yang terhubung dengan loteng. Dengan perasaan ragu, Valen mendekatinya.

Kepala Valen menyembul ke atas. Saat itu dia merasa dadanya makin sesak. Raga ada di sana. Dia menangis. Jenis emosi yang tak pernah ditampilkan Raga padanya selama dia tinggal di sini.

Dengan pijakan yang terkesan hati-hati, Valen mendekat pada Raga. Dia mengambil posisi di sebelah Raga. Membiarkan sesaat Raga tenggelam dalam laranya.

Valen yakin kalau Raga tahu dia ada di sana. Bahkan mungkin Raga juga tahu kalau dia sudah mengikutinya dari tadi.

Tempat ini sarat banyak kenangan tentang Bumi yang melintas di pikiran Valen. Bukan sekali dulu dia sering mendapati Bumi yang duduk sendirian di atas sini. Sedangkan Langit yang tetap berada di kamarnya sesuai perintah Utari.

Bumi seorang pemberontak, tidak seperti Langit yang penurut. Itu yang diyakini Valen saat mengenal mereka berdua.

Dan mengingat Raga yang mencoba menggantikan peran Bumi, itu membuat Valen merasa sakit. Raga tak seharusnya melakukan itu, dia tak seharusnya tenggelam dalam rasa bersalah.

Entah berapa lama yang mereka lewati, kini Valen dapat merasakan kehangatan. Dan warna jingga mulai muncul di ufuk timur.

Raga mendongak. Tatapan matanya kosong. Valen mengambil salah satu tangan Raga untuk dia genggam. Valen berharap kalau Raga tahu dia berada di sini. Dia tidak akan meninggalkan Raga lagi. Tidak akan menyakiti hati laki-laki itu untuk kedua kalinya.

T o  B e  C o n t i n u e

Jenny Evelyn
11 September 2018

RAGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang