[06] Bumi, Ara dan Langit

9.6K 697 32
                                    

Raga tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Sesaat setelah Valen mengucapkan nama yang paling 'dibenci'nya itu, Raga bangkit dan menghampiri Valen. Tanpa berkata apapun, laki-laki itu menarik Valen keluar dari kamarnya dan mengunci pintu. Tidak peduli bahwa tindakannya itu sudah menyakiti hati Valen. Dirinya bahkan lebih tersakiti ketimbang Valen.

Tiga puluh menit berlalu setelah kejadian itu, Raga sudah tidak mendengar suara Valen yang tadi mengetuk kamarnya. Mungkin gadis itu sudah lelah dan memutuskan berhenti. Raga masih berdiri diam di belakang pintu kamarnya yang tertutup. Matanya yang memandang ke depan terlihat kosong. Laki-laki itu tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

'Ini Ara, teman Bumi.'

'Hm, kalau besar nanti apa mimpi Bumi dan Langit?'

'Bumi mau nikahin Ara!'

'Langit... pengen lihat Bumi dan Ara bahagia.'

'Kenapa Langit jadi jahat? Kenapa Langit rebut Ara dari Bumi?'

Tubuh Raga melemas. Matanya bergulir ke sana kemari mencari sumber suara yang mengganggunya. Tidak menemukan apapun, laki-laki itu menenggelamkan kepalanya di lipatan lututnya.

Raga memukul kakinya dengan keras. Tidak dipedulikan rasa sakit yang mulai menjalarinya. Laki-laki itu menangis terisak. Hanya karena satu nama, dia jadi sebegini menyedihkannya.

'...Ara nggak akan nakal sama Langit.'

"Pembohong!" Raga semakin membabi buta memukul kakinya. "Semua orang bohong!"

***

Hari ini Valen tidak memiliki jadwal kuliah. Sehingga gadis itu berniat menyelesaikan makalahnya yang belum terselesaikan. Sejak bangun tidur, Valen sudah berdiam di depan laptopnya.

Namun sudah berlalu 1 jam dan Valen belum mengetikkan satupun kata di worksheet kosong itu. Valen melirik jam yang terletak di meja nakasnya. Menghela napas, gadis itu kembali teringat dengan Raga.

Kamarnya yang tepat bersebelahan dengan kamar Raga membuat Valen mampu mendengar suara tangis laki-laki itu semalam. Hati Valen rasanya sakit. Valen bahkan tidak pernah membayangkan Raga sampai menangis saat dia menyebut nama yang bahkan tidak tahu itu siapa.

"Bumi, Ara dan Langit," gumam Valen. Gadis itu mengerutkan dahinya, mencoba mencari atensi nama-nama itu diingatannya. Namun sebesar apapun usahanya, Valen tetap tidak mengingatnya. Ah, kenapa semua ini membuatnya bingung?

Menyerah, Valen mencoba kembali fokus pada makalahnya. Namun beberapa saat kemudian gadis itu menggeram. Valen frustasi melakukan apapun. Pikirannya hanya akan terus tertuju pada Raga.

Apa laki-laki itu baik-baik saja sekarang? Haruskah Valen bertanya langsung pada Raga? Tetapi saat mengingat reaksi Raga semalam, rasanya sangat mustahil kalau laki-laki itu akan mengatakan segalanya.

"Gue harus gimana, Ga?"

***

"Hari ini lo ngampus?"

Ray langsung bertanya saat Valen duduk di sampingnya. Valen melirik laki-laki itu sebentar. Kemudian memilih mengambil roti tawar dan selai melon kesukaannya. Hanya ada mereka di meja makan sebesar ini. Gio sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali sedangkan Utari masih mengurung diri di kamar.

"Nggak."

"Oh, kirain. Gue ada acara soalnya jadi kalau lo ngampus nggak bisa anter."

Valen tersenyum menatap laki-laki baik hati itu sebelum hanya fokus pada sarapannya. "Take care kalau pergi."

RAGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang