Valen mengetukkan jarinya di atas paha. Iseng. Gadis itu mengernyitkan dahinya merasa aneh dengan suasana seperti ini. Kikuk.
Valen mengalihkan pandangannya pada Raga yang sedang berbaring di ranjangnya. Laki-laki itu tidur menghadap ke kiri membelakanginya.
Hanya ada mereka berdua di sini. Ray sedang mengantarkan Utari pulang sebentar dan membeli beberapa buah-buahan. Raga sudah bangun sebenarnya, cuma dia sedang malas meladeni Valen yang dari tadi ngomong ini itu -Valen sih niatnya perhatian-. Kepala Raga pusing jadinya.
Valen mendengus. Laki-laki itu menyebalkan sekali dengan mengabaikan dirinya seperti ini setelah semalam berhasil membuatnya nyaris jantungan. Ah, tapi ingat kejadian kemarin malam membuat Valen ingin sekali merasakan yang namanya amnesia.
Valen menghela napas panjang. Valen sangat sedih., karena ternyata dia pernah melupakan Raga. Dia merasa sangat jahat.
"Gua cancer." Raga tiba-tiba bicara, tanpa mengubah posisinya. Dua kata itu membuat jantung Valen berdetak cepat. Dia terkejut.
"Segala macam terapi dan pengobatan gue jalani demi sembuh. Nyatanya sampe sekarang gue masih begini. Malahan tambah sekarat."
Raga membuang napasnya kesal. Laki-laki itu berbalik menghadap Valen yang berada di sofa. Diam seperti patung.
"Dokter bilang gue harus amputansi." Raga diam sesaat. Mengamati perubahan wajah Valen. "Dan gue tolak. Gue lebih baik mati daripada harus hidup tanpa kaki. Lagipula dengan mati, gue bisa ketemu dan bayar kesalahan gue ke Bumi."
Napas Valen tercekat. Bertemu dengan Bumi katanya? Valen menggeleng. Tentu saja dia sudah mengingat siapa itu Bumi dan dimana keberadaannya sekarang.
"Kematian Bumi, itu bukan kesalahan lo." Setelah haning beberapa lama, Valen baru menemukan kembali suaranya. "Jadi lo enggak harus berbuat apa-apa."
"Jelas itu salah gue." Raga mengucapkannya dengan tenang. Tanpa emosi.
Dada Valen naik turun. Semua memori di masa lalunya berkelebatan di matanya. Membuatnya tenggelam dalam labirin menyesakkan bernama kenangan.
"BUKAN! ITU BUKAN SALAH LO, GA!"
Raga nyaris tersentak dari tempatnya saat teriakan Valen menggema. Tak berapa lama laki-laki itu mendengar suara isakan. Hati Raga sakit, mendengar gadis yang dia sayangi menangis.
"Semua yang terjadi di masa lalu bukan salah lo. Bukan Ga, bukan. Kematian Bumi murni kecelakaan. Enggak ada sangkut pautnya sama lo yang kebetulan ada di sana. Semua orang cuma salah menilai lo, ya kan? Lo cowok baik Ga."
Mata Raga berkaca-kaca. "Nyatanya lo yang udah janji buat selalu ada di samping gue milih buat pergi. Lo enggak tahu kan, seberapa menderitanya gue selama ini?"
Valen mendongak. Menatap pada manik segelap malam milik Raga. Mengamati mata yang menyimpan banyak luka itu. Ini adalah kali pertamanya bagi Valen, menatap selama dan sedalam ini pada Elang.
"Sepuluh hari setelah kematian Bumi, Papa pulang dari Sidney. Dia caci maki gue, pukulin gue, bahkan nyaris bunuh gue. Gue ketakutan. Dan gue cuma bisa lari. Yang ada dipikiran gue saat itu cuma lo. Tapi apa yang gue dapet? Enggak ada, Va! Lo pergi tinggalin gue! Bisa lo bayangin seberapa hancurnya hidup gue setelah itu?! Satu-satunya orang yang percaya sama gue milih buat pergi."
"Gue enggak bermaksud," Valen berucap lirih. Bahunya merosot lemas.
Keduanya lantas terdiam. Bergelut dengan pikirannya masing-masing. Menenangkan hati yang memberontak.
Clek
Pintu kamar rawat Raga terbuka. Ray dan Utari masuk dengan membawa banyak kantong plastik. Cukup heran saat melihat suasana tidak mengenakkan yang tengah terjadi.
"Ma, aku mau pulang."
Baik Utari maupun Ray terkejut dengan perkataan tiba-tiba Raga. Utari mengira putranya hanya bercanda. Namun melihat wajah dingin itu Utari tahu Raga serius dengan ucapannya.
Utari melirik Valen. Tetapi itupun tidak membantu apa-apa. Karena Valen hanya diam dan menunduk.
"Tapi, Ga~"
"Ma, please."
Utari menghela napas. Raga menatap padanya dengan tatapan nelangsa.
"Mama akan bicara sama dokter dulu."
Kemudian Utari keluar dari ruang rawat Raga. Hanya tersisa mereka bertiga di tempat itu. Ray masih terpaku di depan pintu sambil membawa kantong belanjaan.
"Gue keluar dulu."
Valen bangkit dari duduknya. Gadis itu berjalan cepat keluar untuk menghindari tatapan Ray. Sekarang Ray menghela napas. Laki-laki itu meletakkan bawaannya dan menarik kursi di samping ranjang adiknya.
Raga sebisa mungkin berusaha menghindari tatapan Ray.
"Kalian kenapa?"
Tidak ada jawaban. Dan Ray pun sudah menduganya. Namun Ray tetap tersenyum.
"Pengen dengar cerita?"
"Suatu hari, ada dua pangeran. Mereka tampan dan sangat pandai. Tapi mereka selalu bersaingan untuk menjadi yang nomor satu. Mungkin mereka bisa disebut rival.
"Tapi suatu hari mereka tahu kalau mereka adalah saudara. Mereka memiliku darah yang sama yang mengalir dalam tubuh mereka. Salah satu pangeran akhirnya menyayangi adiknya itu. Kemudiam datanglah seorang putri cantik dan baik.
"Putri itu akan menjadi calon istri salah satu Pangeran, tapi Pangeran satunya diam-diam mencintai putri itu. Sang pangeran tahu kalau putri itu adalah kebahagiaan adiknya, akhirnya dia berusaha untuk membuang jauh perasaannya."
Ray berhenti sesaat. Memandang Raga yang masih tak bergerak. Dia tahu Raga mendengarkan, bahkan mungkin juga menyadari kalau ini adalah kisah mereka.
"Suatu hari, adik Pangeran jatuh sakit. Dan sang Putri menangis. Dia memohon pada Tuhan untuk mengembalikan pujaan hatinya."
Ray menyentuh tangan Raga yang terbalut infus. Dia senang laki-laki itu tidak lagi menepis tangannya.
"Valen sayang sama lo, Ga. Lo seharusnya lihat dia yang raung-raung pas tahu lo sempat apneu selama beberapa detik."
Ray mengelus tangan itu dengan lembut. "Dan bukan cuma Valen yang bakal hancur kalau lo milih buat pergi, Ga. Tapi gue, juga Mama dan Papa. Lo harus percaya, kita menyayangi lo."
Ray menghela napas. Laki-laki itu mengangkat tangannya, mengelus rambut Raga. Ray membetulkan selimut Raga, saat sadar kalau mata adiknya itu terpejam. Raga telah terlelap.
Ray menatap tubuh ringkih itu dengan nanar. "Cepet sembuh, Ga. Gue sayang lo."
Ray tidak bohong. Ray sangat menyayangi Raga, meskipun mereka tidak tumbuh di rahim yang sama. Kemudian laki-laki itu memilih keluar, mencari Valen yang entah pergi kemana.
Sepeniggalnya Ray, Raga membuka matanya. Dia mendengar semua yang dikatakan Ray. Dan tanpa sadar air matanya jatuh.
Raga merasa sangat jahat telah membenci orang yang menyayanginya. Ray bahkan merelakan perasaannya pada Valen untuk kebahagiannya.
Lalu apa yang telah Raga beri pada Ray? Hanya kebencian. Dan air mata Raga semakin kencang berjatuhan.
"Gue, juga sayang sama lo, Ray. Maafin gue."
T o B e C o n t i n u e
Setelah 2 bulan lebih aku akhirnya dapat hidayah buat nulis ini. Gimana nih? Ada yang kangen nggak sih sama Raga? Jangan lupa vote dan komen yaaa....
Jenny Evelyn
30 Agustus 2018

KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA ✔
Teen FictionAmazing cover by Kak @rishapphire I am tired of this place I hope people change I need time to replace what I gave away And my hopes, they are high, I must keep them small Though I try to resist I still want it all ? Troye Sivan - Fools ? #913 in T...