Ray mengelilingi kamar milik Raga. Barang-barang di sana masih tertata seperti yang terakhir kali dia lihat. Raga memang tidak suka merubah-rubah letak barangnya, sangat merepotkan menurutnya.
Ray menghela napas dan berbalik. Meninggalkan balkon dan kembali memasuki kamar adik tirinya. Setelah menutup pintu, dia tak langsung menghampiri dimana Raga tertidur. Tubuhnya bersandar di pintu balkon sambil melihat Raga dari sana. Ray menghela napas.
"Lo kenal yang namanya Ragathya?"
"Anak IPA 3 ya? Cuma tahu nama sama orangnya aja sih, nggak pernah kenal juga."
"Tapi kok gue ngerasa dia kayak dendam gitu sama lo? Lo ada buat salah sama dia?"
Saat itu, Ray hanya dapat tersenyum asem dengan ucapan teman sekelasnya. Setelahnya dia hanya diam karena merasa apa yang dituduhkan itu tidak benar. Lagipula, satu kalipun Ray tak pernah berinteraksi dengan Raga, bagaimana dia bisa berbuat salah dengan laki-laki berwajah dingin itu?
"Raga, dia kakak kamu. Kamu pasti tahu kalau Papa sudah pernah menikah dan memiliki anak sebelum Papa menikah dengan Mama kamu."
Ray mengingatnya. Bagaimana saat itu Raga memandangnya tajam. Tetapi yang Ray lihat adalah sorot luka dari mata Raga. Ray merasakan dadanya sesak. Bukan karena merasa sakit hati, tapi lebih dari itu, entah kenapa Ray tidak rela melihat sorot itu dari Raga.
Raga tidak pernah tahu, kalau Ray sangat menyayanginya. Raga adalah adik pertamanya, satu-satunya saudara yang dia miliki, seseorang yang dia harapkan dapat menjadi tempat berbagi.
"Ga, gue punya salah sama lo? Bisa dibicarain baik-baik kan? Lo seharusnya nggak lupa kalau lo bukan anak kecil lagi."
"Dengar! Gue nggak peduli sekalipun kita punya darah yang sama, buat gue lo itu cuma orang asing yang datang dan hancurin hidup gue. Lo selalu rebut apa yang gue punya! Asal lo tahu, gue bener-bener benci sama lo!"
Ray mengusap air mata yang tidak tahu sejak kapan sudah mengalir di pipinya. Dia akhirnya berjalan ke tengah dan duduk di sisi ranjang Raga. Melihat wajah pucat itu, rasanya hati Ray seolah tercubit.
Beberapa saat yang lalu, Ray mendapati Raga yang kembali terjatuh dalam lukanya. Laki-laki itu menanggung sesuatu yang besar dalam hidupnya. Sebuah perasan bersalah hingga menyebabkan Raga menjadi sosok yang dingin seperti sekarang.
Ray mengambil tangan Raga ke dalam genggamannya. Dingin dan kecil. Awal mulanya, Ray tidak mengira Raga yang selalu berwajah dingin itu memiliki tangan serapuh ini.
"Ga?"
Ray tersentak. Mendengar lenguhan adiknya dan mata yang sedang berusaha untuk terbuka.
Setelah berhasil membuka matanya, Raga sesaat menatap tangannya yang digenggam oleh Ray, tapi tak berselang lama laki-laki itu mengubah arah pandangannya. Seolah tidak peduli kalau Ray sudah berani menyentuhnya. Raga menatap langit kamarnya, diam.
Ray melihatnya dengan sedih. Dia mengeratkan genggamannya dan mencoba untuk sebisa mungkin tersenyum.
"Udah hampir jam 10. Lo lapar nggak?" Tidak menyerah sekalipun berkali-kali Raga mengabaikannya. "Atau mau minum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA ✔
Fiksi RemajaAmazing cover by Kak @rishapphire I am tired of this place I hope people change I need time to replace what I gave away And my hopes, they are high, I must keep them small Though I try to resist I still want it all ? Troye Sivan - Fools ? #913 in T...