Mataku terbelalak kaget. Teman-temanku tergeletak, tak bergerak. Muka mereka lebam, berdarah-darah di tubuhnya. Aku tahu mereka masih bernapas, namun tetap saja... melukai teman-temanku sama saja dengan melukai harga diriku. Aku terdiam, lantas hanya bisa bungkam. Gerombolan lain di sana terbahak kencang, menampilkan rasa bangga dan juga meremehkan. Aku berdecih jijik, lalu melangkah seorang diri. Aku sedang cari mati. Mereka masih terbahak, meremehkanku yang melangkah sendiri. Di antara cowok-cowok yang tekapar dengan tubuh berdarah ini akulah yang masih bisa tegak berdiri. Aku datang terlambat, jadi tentu saja hanya aku yang masih bisa bertahan.
"Bajingan!" Aku berteriak ganas, membentak mereka dengan wajah marah. Ketua gembong preman ikan asin itu tertawa kencang, tergelak dengan wajah menggelikan.
"Udah, kalah deh kalah! Tuh kan temen lu udah pada kalah!"
Aku menoleh, menatap teman-temanku yang separuh tersadar. Mereka menggeleng, mengisyaratkan padaku untuk nggak berbuat ceroboh. Namun tetap saja aku kesal dibuatnya. Sahabatku, Aldi menarik sepatuku. Dia mengernyit kesakitan, menggeleng dengan wajah memohon.
"Jangan..." bisiknya pelan. Aku sudah terlalu kalap. Aku datang terlambat karena tadi masih sibuk dengan remidi. Aldi menarik sepatuku kencang. Aku tahu kalau dia sudah kehabisan tenaga untuk berdebat, namun tenaganya muncul begitu saja ketika aku ingin melangkah.
Aku bukan pemeran utama dalam film tawuran, sama sekali bukan. Aku jelas nggak mampu berdiri melawan mereka semua. Akan tetapi aku hanya salah satu personil tawuran yang datang terlambat dan terpaksa melihat teman-temanku kalah.
"Sini!! Maju kalian!!" Aku menjerit gusar. Aldi masih mencoba menarik sepatuku, mendengus dengan wajah kesakitan. Aku sudah bertekad untuk jadi personil tawuran berani mati. Aldi memeluk betisku spontan. Aku mencoba melepaskan diri dari cengkeramannya, namun dia masih bersikeras untuk mempertahankanku.
"Sini, sini! Berantem sini!" Aku melangkah, mencoba menarik Aldi yang masih setia memeluk betisku. Gerombolan lawan terbahak kencang, menertawakan kegiatan kami.
"Kamu bukan Takiya Genji, Tio!" Aldi mendengus nggak terima. Aku lupa, aku memang bukan pemeran utama di film tawuran. Dibanding Aldi saja aku masih kalah dan nggak ada apa-apanya. Aku hanya bisa bermulut besar, mengumpat sesukanya, lalu menyerang dengan brutal. Jelas saja aku dan cowok bernama Takiya Genji di film itu jauh kalau dibayangkan.
"Lalu? Aku harus apa?" Aku menunduk, menatap Aldi yang juga mendongak dengan raut pias. "Apa aku kabur aja?"
Aku sadar, aku pengecut dan bukan tipe cowok jantan. Aku hanya tergabung dalam komunitas mencurigakan yang hobinya tawuran.
"Emangnya kita lagi berantem gara-gara apa, sih?" Aku melongo, mencoba memastikan. Ah, tepatnya mencari jawaban.
"Soal cewek. Cewek dia selingkuh sama murid sekolah kita."
Aku menggaruk tengkukku. Itu kan masalah pribadi. Kenapa kami harus ikut campur? Memangnya dapat apa kalau ikut campur urusan percintaan seseorang? Aku juga masih jomblo, kenapa harus ikut campur urusan cinta orang lain?
"Lalu urusan kita apaan?"
"Soal harga diri, lah! Temen kita dikeroyok sama mereka."
"Oh..." Aku manggut-manggut sekarang, menoleh ke arah gerombolan itu dengan wajah cengo. Aku benar-benar nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Lalu, mulut yang biasanya digunakan mengumpat dan juga berbohong ini kembali bersuara. Dengan nada pedas seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Teen FictionAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...