Hari ini aku masih nggak bernafsu untuk hidup. Nenekku kembali berteriak, mengomel setiap pagi. Katanya bangunku selalu siang, hingga aku selalu terburu-buru. Bahkan tiap malam nenek selalu memaksaku belajar. Meski pada akhirnya aku selalu teronggok mengenaskan di atas kasur, namun nenekku selalu membangunkanku kembali.
"Harusnya kamu itu bersyukur! Dulu nenek kalau mau sekolah saja harus sembunyi-sembunyi!" Nenekku membandingkan masa sekarang dengan masa sebelum kemerdekaan. Aku selalu tersenyum miris dan nggak menjawab. Percuma, kalau aku jawab dengan pembelaan ala anak sekarang pasti akan salah juga.
"Iya, nek! Tio yang salah." Aku selalu menjawab seperti itu pada nenekku. Aku harus belajar jadi masokis yang tahu diri. Aku numpang di sini. Aku hanya cucu nakal yang harus instrospeksi kalau ingin melalui kehidupan ini dengan tenang dan damai.
"Jadi, gimana sekolahnya?"
Aku terusik.
"Ya nggak gimana-gimana, nek."
"Kamu nggak berulah?"
Sumpah, kalau aku bisa sudah dari dulu aku berulah nek! Aku pasti sudah jadi preman paling kece di sekolah kumuh itu. Tapi aku bisa apa? Mereka nggak akan pernah melepaskanku. Tadi siang saja aku harus memijat bahu Rean dan cowok-cowok absurd itu. Kalau pijatanku terlalu kencang, mereka akan berteriak dan mengatakan aku sedang jadi algojo. Kalau pijatanku terlalu lembut, mereka pasti mengolokku karena tenagaku mirip cewek. Sebenarnya aku hanya bingung. Mikir.
Kenapa aku mau melakukannya?
"Besok hari sabtu. Bus berangkat lebih pagi."
Aku melongo. Setiap hari aku harus menahan kantuk karena berangkat setengah enam, dan masih ada satu hari dalam seminggu dimana aku harus bangun lebih pagi lagi? Tentu saja aku harus bangun jauh lebih pagi dan mandi dingin-dingin?
Kini aku paham kenapa murid-murid teroris itu selalu ngopi setiap paginya. Apa perlu aku bawa sianida biar mereka kenal dengan racun dalam larutan kopi?
Keesokan paginya aku benar-benar memaksakan diri untuk bangun saat azan subuh terdengar. Nenekku sudah mengomel pagi-pagi. Aku bergelung dalam bak mandi yang terbuat dari plastik. Harusnya aku malu. Tapi rasa dingin nggak bisa membuatku bergerak. Nenekku masuk ke kamar mandi. Aku lupa, kamar mandiku nggak ada kuncinya. Hanya pintu biasa dengan kaitan dari kawat yang sangat sederhana.
Aku menjerit nista. Menutupi tubuh telanjangku sebisanya. Menangkup "adik" kecilku di selangkangan.
"Kamu dari tadi nenek tungguin ternyata malah enak-enakan tidur di sini!"
"Nenek ngapain masuk?!!"
"Jangan lama-lama!" Nenekku berteriak gahar. Aku menurut, meraih handuk yang tergantung di paku. Kututupi dengan segera tubuh bagian bawahku sambil bersungut-sungut. Nenekku menaikkan alisnya, menggoda dengan wajah geli.
"Dulu nenek yang mandiin kamu. Kenapa harus malu?"
Tolong, aku ingin salto sekarang!
***
Nyatanya, teroris itu juga ikut jadwal bus biru. Aku naik dengan wajah ngantuk dan juga kusut. Kejadian pagi ini membuat moodku sedikit berantakan. Nenek membuatku malu setengah mati, seperti aku nggak punya tenaga untuk hidup lagi di dunia ini. Aku mulai alay, lantas mendeklarasikan diri sebagai masokis.
"Ah, Tio!" Mereka kembali bertepuk tangan. Aku nggak paham kenapa mereka begitu tertarik dengan kedatanganku. Aku nggak tahu. Apa mungkin karena murid baru adalah hal yang sangat menarik? Sekolah mereka jarang mendapatkan murid baru, jadi mendapatkan satu murid baru saja membuat mereka bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Teen FictionAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...