Hari ini Aldi nggak masuk sekolah. Luka di tubuhnya masih nyeri. Kemarin dia pergi membeli bensin sekalian jalan-jalan, namun dia nggak sengaja menyenggol motor lain. Gerombolan itu marah dan menghajar Aldi, meski cowok itu sudah minta maaf. Lebih menyakitkannya lagi, alasan mereka memukuli Aldi adalah karena wajahnya menyebalkan. Aldi nggak paham kenapa wajahnya harus disalahkan. Banyak cowok yang membenci wajahnya, sementara banyak cewek yang menyukai wajahnya. Meskipun cewek-cewek itu nggak menyukainya lantas menjadikannya pacar. Cewek-cewek itu hanya mengagumi wajahnya, sementara cowok-cowok iri karena Aldi dikelilingi cewek.
Sialan, dari sudut manapun nggak ada yang bagus, ya!
Aldi sudah stand by di atas pohon rambutan sejak pagi setelah sarapan. Dia harus mendapatkan sinyal hari ini. Dia ingin menelpon mamanya, mau minta duit. Duitnya ludes gara-gara cowok sialan kemarin.
"Halo, ma..." Aldi langsung menyapa.
"Iya?" Suara lain menyahut. Bukan suara mamanya.
"Ngapain lo pegang-pegang HP nyokap gue, tai?!" Aldi sudah mendadak emosi. Suara itu sangat mengganggu. Suara cowok yang jadi salah satu alasan kenapa dia bisa terdampar di tempat ini.
"HP mama kamu ketinggalan. Mama kamu ke kamar mandi..."
"Lo sendiri ngapain di rumah gue? Bajingan!" Aldi menjerit nggak terima. Dia hampir saja terjungkal ketika mendengar suara cowok yang mengangkat teleponnya. Tentu saja calon suami mamanya. Sekarang ini dia sedang nggak bernafsu untuk tertarik dengan kehidupan percintaan mamanya.
Dia hanya ingin mamanya tahu kalau dia kehabisan uang. Meski uang sewa sudah dibayar selama setahun, namun tetap saja dia juga butuh makan. Walau uangnya lebih dari cukup. Ibu Faris selalu membawakan makanan untuknya. Karena itulah uangnya nganggur nggak terpakai.
Aldi mendadak suntuk dan emosi.
Seharian dia terpekur di atas pohon rambutan tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Menjelang siang, dia turun. Dia ingin mandi. Dia berlari ke sumur belakang, melepas bajunya dan hanya memakai handuk di pinggang. Hingga disadarinya Tio datang. Bersama cowok itu lagi. Faris.
Lebih dramatisnya lagi, Tio tahu luka yang ada di tubuhnya dan mulai menginterogasi.
"Seriusan nggak apa!" Aldi ngotot. Tio menoleh ke arahnya dengan raut tajam. Sekali lagi Tio menoleh, berdecih.
"Beneran nggak apa? Kenal sama cowok-cowok itu? Ciri-cirinya gimana?" Tio masih ngotot.
"Nggak apa! Nggak apa! Sana pulang, ntar nenek nyariin." Aldi terpaksa mengusir Tio dari kosannya. Tio menurut dan pulang. Sementara itu hanya ada Faris yang masih berdiri di belakangnya.
Faris sempat berang melihat memar itu. Juga separuh terangsang begitu melihat sesuatu di selangkangan Aldi. Aldi belum tahu kalau dirinya gay. Aldi hanya tahu kalau dirinya teman sebangku Tio.
"Trus kenapa lo masih di sini?" Aldi nggak suka melihat Faris masih tetap berada di tempatnya. Aldi melepas handuknya dan melenggang santai ke kamar. Faris masih berdiri memandangnya. Menelusuri tubuh polos putih yang kini sudah memakai kaos oblong dan juga celana pendek rumahannya.
"Kok lo masih belum pulang?" Aldi terusik. Faris melangkah tajam ke arahnya, mencekal lengannya, dan membuka kaos Aldi. Aldi melongo dan meronta seketika.
"Siapa yang bikin ini?" Faris berang. Dia menunjuk luka memar di tubuh Aldi.
"Mana gue tahu?" Aldi mencoba menghindar, menatap arah lain dengan wajah enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Teen FictionAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...