Sebelas: Adikku yang Malang

11.1K 1.2K 268
                                    

            Kami sampai di sekolah. Rean membawaku ke UKS. Dia datang setelah itu sambil membawa air hangat dan juga handuk. Dia mengompres ngilu di kakiku dengan handuk itu. Gengsi mulai melanda hatiku. Aku bingung harus bagaimana. Mau berterimakasih, tapi aku sungkan. Mau mengabaikan, tapi aku tahu diri.

Jadi...

"Makasih." Itu yang kuucapkan. Singkat dan juga penuh dengan rasa gengsi yang luar biasa. Rean bungkam. Rasa sakitnya mulai menghilang perlahan. Tadi tidak terlalu parah, hanya keseleo sedikit saja. Kami canggung mendadak. Aku nggak tahu bagaimana harus bereaksi. Setahuku, kami baru saja bertengkar beberapa jam yang lalu.

"Kamu nggak ikut pelajaran?"

"Ini kan masih jam istirahat. Nanti kita harus isi daftar hadir di BP karena udah terlambat."

Aku mengangguk. Meski masih tertatih, namun aku bangkit juga dari kasur UKS dan melangkah mengikuti Rean ke BP. Setelah kami mengisi daftar terlambat dan ditanya ini-itu, akhirnya kami kembali ke kelas. Sumpah, aku masih terlalu canggung. Dibilang baikan ya belum tentu kami baikan. Dibilang berantem juga sepertinya masalahnya sudah beres.

Hingga... langkah kami terhenti.

Di depan mata kami ada Faris dan Aldi yang saling pukul. Aldi duduk di atas tubuh Faris dan melayangkan tinjunya pada rahang cowok itu. Sementara Faris yang punya tubuh lebih besar dan berotot hanya berdecih dan balas memukul. Aku ngeri melihat mereka.

Cowok plontos di bawah Aldi jauh lebih kuat. Faris tentu saja lebih besar daripada Aldi, meski Aldi lebih tinggi sekian centimeter.

"Berhenti, woy!" Aku melangkah ke arah mereka. Aku menarik lengan Aldi, sementara Rean membantu Faris bangun. Aldi dan Faris bertengkar dan saling baku hantam. Kalau sampai BP tahu, pasti mereka akan dipanggil dan diomeli.

"Bajingan lo!!" Aldi berteriak, mengumpat kasar. Aldi selalu menggunakan kata kasar saat sedang marah. Adikku ini bisa berubah jadi manusia serigala kalau sedang emosi. Keluar dari zona manisnya. Dia selalu mengatakan 'gua-lo' tiap kali marah. Aku pernah dibentak dengan bahasa marahnya, shock, lalu dia sadar dan minta maaf. Dia hanya sering kalap kalau sudah emosi.

"Udah! Udah!" Aku memeluknya, menghalangi tubuhnya yang sudah bernafsu menyerang Faris.

Sementara Faris hanya terdiam dan mengusap darah di sudut bibirnya.

"Lepasin gua, Yo!" Aldi masih memberontak dalam pelukanku. Aku mengernyit. Kakiku masih belum terlalu kuat untuk menahan beban Aldi.

"Kalau ketahuan guru, kamu bisa dihukum."

"Peduli tai, gua!"

"Tapi aku peduli sama kamu!!"

"Cowok brengsek itu..."

Plak!!

Kutampar pipi Aldi seketika. Agar dia sadar betapa bodohnya dia saat ini. Aku hanya ingin adikku nggak begini. Aldi tersadar, lalu mengusap kasar wajahnya. Keningnya berdarah, sudut bibirnya lebam. Bahkan aku melihat bibirnya juga tergores sesuatu. Aldi menunduk, sudut matanya melirik Faris yang juga sedang berdiri menantang.

Rean menatap kami dengan tatapan nggak enak. Aku menoleh ke arahnya, lalu mengangguk. Sepertinya kami punya pemikiran yang sama saat ini. Mengajak mereka bicara dengan damai.

"Jadi, ada masalah apa?" tanyaku cepat. Aku bertanya pada Faris. Percuma saja bicara dengan Aldi saat dia sedang emosi.

"Kalian bukan anak kecil lagi." Rean juga ikut bicara. Faris adalah sahabatnya, jadi dia bisa diandalkan untuk jadi mediator pertengkaran nggak jelas ini.

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang