Dua: Sekolah Baru

13.6K 1.3K 211
                                    

            Perjuanganku belum berakhir. Aku sudah mendeklarasikan diri sebagai calon masokis sejati. Aku nggak akan dihajar dan ditonjok oleh cowok. Aku hanya akan dipukul secara kuno oleh seorang nenek yang sangat kutakuti. Selain tempat tinggalku yang seperti penjara itu, aku juga akhirnya terdampar di sekolah baru. Mau bolos? Bolos kemana? Sawah? Kebun? Ladang? Atau hutan?

Nggak ada tempat untuk bolos!

Aku nggak bisa apa-apa selain terdampar di tempat terpencil ini. Pagi-pagi nenekku sudah berteriak kencang, memaksaku bangun untuk segera mandi. Nggak ada air hangat, yang ada air dingin yang memang super dingin karena berada di daerah tinggi. Nenekku tinggal di daerah perkebunan teh.

"Kenapa nenek harus ikut ke sekolah?" Aku bertanya cepat ketika melihat nenekku sudah siap untuk pergi. Aku melongo. Setahuku, aku hanya harus sampai di sekolah dan memperkenalkan diri.

"Kamu harus diajari rute naik bus."

Aku melongo.

"Bus?"

"Iya, benda kotak satu-satunya yang bisa antar kamu ke sekolah."

"Tio nggak bawa motor, nih Nek?"

Nenekku yang melotot dengan dramatis. Nenek menarik lenganku, memaksaku untuk segera keluar dari rumah. Aku sudah siap pergi ke sekolah, dengan seragam SMA celana warna telur asin dan kemeja putih.

"Ingat, jadwal bus yang bisa antar kamu ke sekolah hanya ada jam enam!"

Untuk yang kesekian kalinya aku harus salto. Jam enam? Sumpah, ini rekor pertamaku berangkat sekolah sepagi itu. Nenekku mengajakku menunggu sesuatu di salah satu halte. Oh, namanya bukan halte biasa! Ada tumpukan pisang di sebelahnya, ada keranjang buah juga. Aku melongo. Ini halte apaan?

"Jadi, kita nunggu apa di sini?"

"Bus. Warna biru. Transportasi satu-satunya yang bisa antar kamu ke sekolah."

Aku ingin bertepuk tangan dengan dramatis sekarang. Aku nggak tahu kenapa aku harus berjuang demi bersekolah di tempat kumuh ini. Sekolahku di kota nggak seruwet ini, meski aku harus bolos.

Ada bus biru yang akhirnya berhenti di depan kami. Bus itu berwarna biru kumal, dengan cat yang sudah mengelupas. Suara mesinnya terdengar sekarat, belum lagi penumpangnya mayoritas orang desa dengan baju kumal. Bus itu berAC. Angin Cendela. Begitu kami masuk, bau macam-macam menerpa hidungku. Beberapa orang tersenyum, menyapa nenekku. Nenekku balas tersenyum menyapa orang-orang itu. Mereka mengobrol, sekedar berbasa-basi. Aku mengerut nggak suka.

Sepertinya aku harus ikut kendaraan nggak layak ini kalau ingin berangkat ke sekolah. Perjalanan kami berlangsung selama setengah jam. Aku mendengus nggak suka. Mungkin kalau naik motor, kami bisa sampai hanya dalam waktu lima belas menit. Selama perjalanan aku juga harus sport jantung. Bus ini super mengerikan. Meski bobrok, tapi supirnya sok jago. Padahal jalanannya sempit dan juga berbahaya kalau dilalui oleh sebuah bus. Meski busnya termasuk bus mini milik perkebunan, namun tetap saja supirnya sok jago!

Belum lagi penumpangnya yang super.

Ada yang muntah di bangku belakang, dengan bunyi dramatis hingga seisi bus mendengarnya. Hoeeek.. hoeeek... begitu! Kalau bisa, aku ingin lompat dari bis sekarang juga. Kokok ayam juga terdengar, sangat mengerikan. Beberapa anak sekolah naik, lalu duduk dengan tenang. Di tangan mereka ada buku. Wajah mereka polos, nggak dipoles dengan make up mirip teman-teman cewekku.

Aku jadi makin benci desa ini!

Kami sampai setengah jam kemudian di sebuah sekolah. Atau aku masih ragu mereka menyebutnya sekolah. Sekolah itu terlihat mengenaskan. Meski halamannya penuh dengan pohon, namun tetap saja terlihat miris. Bangunannya berhimpitan, lapangan upacaranya hanya sekian meter persegi. Belum lagi sekitar sekolah ini juga nggak menjanjikan. Hanya ada kebun teh, sawah, dan ladang di sekeliling sekolahnya, sementara di depan sekolah hanya ada jalan kecil yang muat untuk satu bus biru tadi dan sebuah motor. Lantainya bukan keramik, melainkan ubin dingin warna abu-abu dari semen. Papan tulisnya juga masih hitam legam, dengan kapur tulis sebagai alat tulisnya.

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang