Enam: Welcome, Brother!

11.3K 1.2K 183
                                    

Aku benar-benar mencoba menjauh dari cowok gila psikopat dan sarap itu. Kemarin Rean sudah menginjak-injak harga diriku. Aku berangkat lebih pagi, ikut jadwal bus biru yang lebih awal. Meski aku sampai di sekolah lebih pagi daripada sebelumnya, namun tetap saja aku was-was ketika melihat jam.

Tio yang dulu sudah menghilang.

Tio yang hobi tawuran dan susah diatur itu sudah lenyap entah kemana, berganti dengan cowok pengecut yang teraniaya. Aku ingin bolos sekolah, tapi kalau aku melakukan itu.... nenekku yang perkasa akan segera berubah jadi penumpas kejahatan.

Aku masih ingin hidup lama.

Juga, sudah mulai terbiasa.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, mereka semua datang bersamaan. Turun dari bus biru dengan wajah senang dan penuh tawa. Mereka terlalu bersemangat! Nggak penting! Mereka kan mau sekolah, bukannya mau party.

"Kok udah sampai duluan? Nggak mau bareng kami, ya?" Salah satu teman Rean yang bernama Gio bertanya cepat. Aku nggak suka jawab pertanyaan retorik. Karena memang nggak butuh dijawab.

Aku malas menjawab, jadi aku diam saja. Namun tiba-tiba mataku terbelalak kaget. Mulutku melongo. Kutepuk pipiku, berharap aku nggak mimpi. Seseorang sedang berdiri di depanku dengan senyuman khasnya. Cowok itu melambai sambil memamerkan dagunya bangga. Rean dan yang lain juga menoleh, mengikuti arah pandangku. Mereka juga melihat cowok itu. Jadi itu bukan penampakan.

"Hi, brother!" Dia melambai.

"Tai!! Kok bisa di sini?!" Aku berlari semangat, melompat dalam gendongannya. Dia terbahak, lalu berputar kencang. Aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini benar-benar si kunyuk? Si Aldi, sahabatku yang doyan kuajak sial?

"Kok bisa di sini? Kunjungan wisata?"

"Masa iya kunjungan sendirian?" Aldi nyengir. Aku melongo, menatapnya dan berdehem sekilas.

"Trus?"

"Aku pindah juga ke sini."

"Hah? Kok bisa?"

"Mamaku bawa pacar barunya ke rumah." Aldi mendengus nggak suka. Papanya meninggal beberapa tahun lalu, jadi mamanya janda. Mamanya itu tipe single parent yang masih kekinian. Suka sekali ganti-ganti pacar.

"Tumben banget peduli? Biasanya juga cuek."

"Kali ini mama serius. Mereka mau nikah."

Aku melongo, lalu menepuk bahu Aldi sekilas. Aldi nyengir, lalu mengedikkan bahunya cuek. Sekarang dia hanya ingin terdampar di sini, menemaniku. Bersamaku. Beban yang kurakan selama seminggu lebih ini mulai hilang begitu saja. Aku seperti sedang menemukan mata air di gurun pasir.

"Bro, sini cium dulu! Cium dulu!" Tingkah gilaku kumat. Aku menekan kedua pipi Aldi, memonyongkan mulutku dan bersiap menciumnya. Aldi terbahak, menjauh dan meronta.

"Udah kayak homo aja, ah!" Aldi tergelak. Kami sudah biasa bertingkah seperti ini. Namun sungguh, aku nggak ada rasa seperti itu. Aku benar-benar sayang pada Aldi sebagai sahabatku. Sudah kuanggap dia sebagai adikku sendiri.

Aku tersadar seketika ketika sepasang kaki berhenti di samping kami. Aku menoleh dan mendapati Rean sedang memandangku dan Aldi dengan tatapan nggak enak. Aku lupa kalau sejak tadi cowok iblis ini sedang bicara denganku.

"Siapa?" Rean bertanya dengan nada cepat.

"Ah, temen baru kamu?" Aldi menyikutku. "Tumben mau temenan sama orang."

Aku menggeleng kencang. Menolak.

"Bukan! Cuma salah satu murid yang duduk di belakangku."

"Oh..." Aldi mengerling, tersenyum jahil padaku. Apa lagi salahku? Aku jujur, kok! Aku benar-benar bukan teman Rean. Kami hanya musuh. Musuh besar. Nggak akan bisa damai!

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang