Lima: Ochi VS Rean

11.9K 1.2K 287
                                    

            Aku punya kelamahan cowok iblis menjijikkan ini! Setelah sekian lama aku menunggu datangnya kesempatan ini, akhirnya muncul juga. Kali ini tiap kali melihatku Rean selalu menghindar. Dia jadi lebih menjaga diri. Jangan sampai salah ngomong atau aku panggil dia dengan nama itu. Seringaiku menakutkan sekarang. Begitu mulutku terbuka, melongo seolah sedang mengatakan huruf 'O', Rean akan menghindar dariku.

Sudah lama aku nggak merasa sepuas ini!

Aku melangkah ke arah kantin begitu bel istirahat berbunyi. Langkahku sangat bersemangat ketika para teroris itu menyingkir. Rean memberikan peraturan baru di kelasku. Dilarang mengganggu Tio. Begitu bunyinya. Ketika kakiku berbelok di dekat kamar mandi, sepasang lengan menarikku. Aku berontak, namun sebuah telapak tangan menutup mulutku. Aku sadar siapa yang menarikku masuk ke dalam kamar mandi konvensional ini. Hanya ada bak mandi dan juga kloset. Nggak ada wastafel macam toilet mall gitu.

"Apaan, nih?" Aku terpojok dalam kamar mandi yang sempit. "Kalau ada yang lihat, bisa-bisa dianggap macem-macem."

"Macem-macem apaan?" Cowok iblis itu bertanya bingung. Rautnya masih terlihat kesal. Ah, aku lupa! Dia nggak pernah main di lapak internet.

"Lupakan! Apaan, sih?" Aku nggak nyaman berada dalam kamar mandi bersama cowok. Ambigu. Tubuh kami nempel-nempel. Berhimpitan dengan wajah beberapa centimeter dekatnya. Tapi nggak ada nafsu, sih! Biasa saja. Meski orientasiku nggak jelas juga. Aku suka melihat cewek dada besar, tapi juga deg-deg seeerrr kalau melihat mas-mas pakai baju koko dan sarung yang sedang tersenyum adem menyapaku di jalan. Padahal nggak kenal.

Mungkin aku biseks. Kalaupun aku harus jadi homo, atau gay, atau apa itu sebutannya... aku juga milih-milih kalau mau homoan. Nggak mungkin aku pilih cowok iblis ini. Seleraku tinggi, ya! Aku maunya calon suami yang bisa membimbingku masuk surga. Bukannya penghuni neraka jahanam macam iblis ini.

Tapi aku lebih suka sendiri.

Alasan? Biar nggak ribet. Mungkin. Atau... karena aku nggak percaya cinta. Nggak mau berurusan dengan cinta macam sinetron atau cerita fiksi.

"Nih mulut jangan sampe bocor soal panggilan itu!" Tangan Rean mencubit bibirku brutal. Bibirku manyun-manyun, mengucapkan kalimat dengan susah payah. Aku ingin mengatakan sesuatu.

"Kamu pikir aku bakalan takut?" Kali ini aku menantang. Rean menaikkan alisnya, menyunggingkan seringai iblisnya, dan kemudia meniup wajahku. Aku nggak paham kenapa dia melakukan itu. Sungguh.

"Awas kalau kamu sebarin rahasia kita!"

"Soal Ochi itu? Kan namanya bagus. Imut. Unyu...."

Kali ini tangan Rean sudah menepuk kepalaku, berganti dengan menyentil dahiku. Aku bengong, melongo. Hanya ada dua orang yang berani menyentil dahiku. Aldi dan nenekku. Orang lain memukul bagian selain itu.

Kali ini ada satu lagi.

"Diem!!" Rean menarik kedua pipiku lagi. Aku melotot nggak terima. Perlakuannya menjijikkan. Maniak. Menggelikan. Bikin muntah.

"Sekali lagi kamu perlakukan aku kayak gini, aku gigit kamu!" Anehnya, aku juga ketularan absurd. Aku nggak tahu harus bagaimana. Kalau memang aku harus gila, aku milih tempat kali. Ah, aku dengar sekolah ini kan angker. Bekas kuburan. Kalau penghuni kamar mandi ini tiba-tiba marah dan kemdian kami berdua kesurupan gimana?

"Mau bocorin atau aku bikin hidupmu nggak tenang?"

"Mau ngapain, sih Chi?"

Rean kembali memiting leherku. Aku meronta, menjerit kencang. Aku berharap ada murid baik hati yang akan mendobrak pintu kamar mandi ini.

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang