Tujuh: Rean Kenapa?

11.2K 1.2K 230
                                    

            Aku ingin bilang sesuatu. Akhirnya aku tahu bagaimana kepribadian si Ochi menyebalkan itu. Dia labil!! Kata itu tiba-tiba terlintas di otakku ketika aku sedang mengerjakan PR. Miris? Iya, sekarang aku rajin mengerjakan PR. Alasannya? Sekolah itu aneh. Siapa yang nggak mengerjakan PR hukumannya nggak jauh-jauh dari yang namanya membuat malu dan menjatuhkan harga diri. Harus membersihkan kamar mandi, lalu jadi komandan pasukan selama upacara. Daripada wali kelasku lapor ke nenek, jadi aku selalu mengerjakan PR.

Oh, I miss my brother. Enak kali ya kos begitu. Bebas dan juga bisa melakukan apa saja. Aku menunduk, menatap HPku yang tergeletak nggak berdaya. Percuma juga diaktifkan, nggak ada sinyal. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku.

Aku menamakan ide ini sebagai: Proyek mencari sinyal. Proyek mencari cewek nanti saja. Aku masih terlalu iri dengan keberadaan Aldi di kelas IPS. Cowok itu sepertinya sangat menikmati hari-harinya, dikelilingi cewek IPS yang manis dan juga ramah. Sedangkan di kelasku? Hanya ada empat cewek, dan itu juga pedes semua. Apa gara-gara keberadaan si Ochi ya hingga semua orang seperti menjauhiku?

"Tio, jangan di jalan! Minggir! Minggir!" Rean berteriak di belakangku. Aku menoleh spontan dan mendapati cowok itu sedang menggendong seorang cewek yang berdarah-darah. Aku melongo nggak percaya. Cewek itu terlihat pucat, sementara guru lain yang melihatnya langsung tanggap.

"Ada apaan, sih?" Aku iseng bertanya pada Faris yang menyusul di belakangnya.

"Jatuh ke jurang."

"Kok bisa?"

"Mana kutahu."

Aku berdecih. Kok bisa jatuh ke jurang? Memangnya dia mau syuting video klip gitu? Berdiri di tepi jurang dengan rambut yang tertiup angin. Halah, klise!

Hari itu, UKS ramai. Anehnya, seisi sekolah heboh. Cewek itu berdarah makin banyak sampai baju Rean penuh dengan darah. Guru-guru juga berusaha mencari pinjaman kendaraan untuk membawa cewek itu ke puskesmas terdekat.

"Tio, pinjem motor ke temenmu buruan!" Rean berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh. Aku masih bengong. "Cepetan, ini soal nyawa orang!"

Aku bergerak, berlari ke kelas Aldi. Merampas kunci motornya dan membawanya ke Rean. Rean menyahut kunci motor itu dan berlari ke parkiran. Beberapa guru menatapnya ragu, namun akhirnya Rean menarik lenganku.

"Dia yang ikut, bu."

Aku makin melongo, ternganga nggak paham. Beberapa guru mulai mengangkat cewek itu ke atas motor. Rean duduk di depan dengan posisi cewek itu yang bersandar di punggungnya.

"Naik, buruan!" Rean membentakku. Aku tergagap, namun spontan duduk di belakang cewek itu. Aku memegang cewek itu agar nggak jatuh. Guru yang membawa motor honda astrea keluaran lama akhirnya sampai. Beliau mengikuti kami, membawa cewek berdarah ini ke puskesmas.

Untung saja cewek ini masih bernapas.

Juga, untung saja kami belum terlambat. Cewek itu segera ditangani, sementara aku dan Rean terdampar di lorong puskesmas. Guru yang mengikuti kami dengan honda astreanya tadi baru saja sampai dan langsung mengurusi administrasi.

"Dia kenapa bisa kayak gitu?" tanyaku cepat. Rean menghembuskan napasnya. Bajunya penuh dengan darah. Aku ngeri sebenarnya, meski aku juga sering begitu. Cowok sejati sekali-kali harus tampil begitu. Kelihatan jantan dengan bercak darah.

"Kalau aku cerita, kamu mau jaga rahasia?"

"Aku nggak ember. Ada apaan?"

"Cewek tadi namanya Lina. Dari kelas IPS."

"Pacarmu?"

Satu pukulan melayang di atas kepalaku. Aku mengaduh dan melotot ke arah Rean. Apa lagi sekarang? Apa salahku? Aku hanya bertanya.

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang