Delapan: Canggung yang Membunuh

11.3K 1.3K 250
                                    

            Sejak tragedi memalukan kemarin, aku dan Rean makin bermusuhan. Aldi yang hanya sempat melihatku berteriak kencang di bawah tiang bendera hanya bisa menghiburku. Kemarin dia mencoba menyelamatkanku, namun Rean menahannya. Bahkan tatapan Rean waktu itu terlihat menakutkan. Aku terikat hingga bel pulang hampir berbunyi.

Diam-diam aku penasaran, kok nggak ada pelajaran?

Ternyata setelah aku berhasil melepaskan diri dan menendang perut Rean lalu kabur, Aldi menjelaskan kalau guru-guru masih terlalu sibuk dengan kejadian tadi. Mereka bersiap menjenguk Lina. Siswa yang lain diperintahkan belajar sendiri. Kalau di sekolahku dulu, kehebohan pasti hanya terjadi sebentar dan pelajaran dimulai. Ternyata ada untungnya juga sekolah di desa seperti ini. Jiwa sosialnya masih tinggi.

Hem... boleh juga!

Sayangnya, aku lupa dimana aku berada sekarang. Berdua selama setengah jam ke depan bersama iblis sialan ini. Ada beberapa penumpang yang juga naik. Kami berdua masih harus mampir ke BP untuk diinterogasi kenapa melakukan perbuatan memalukan tadi.

"Lalu kamu dapat tali darimana?" Itu pertanyaan konyol dalam interogasi barusan.

"Saya kan punya di laci bangku, pak."

Diam-diam aku penasaran dengan barang-barang lain yang Rean punya di laci bangkunya. Sekarang kami sedang duduk berdua dalam bus biru. Hanya aku dan Rean dari sekolah kumuh itu. Kami ketinggalan bus dan baru nemu ketika jam menunjukkan pukul empat sore lebih dua puluh menit.

Hanya ada empat penumpang. Aku, cowok iblis itu, juga dua orang nenek-nenek di bangku depan sambil membawa keranjang besar.

Kami mengambil jarak duduk yang berjauhan.

Sebenarnya aku bisa nebeng Aldi tadi, namun aku tahu kalau cowok itu harus membeli bensin. Karena takut terlalu malam, Aldi berangkat sendiri. Dia menepuk bahuku sekilas, memelukku dan mencoba menenangkanku.

Lalu penumpang hanya tinggal kami berdua. Tiba-tiba canggung melanda kami. Supir yang lumayan dekat dengan Rean itu mulai mengajaknya ngobrol. Aku diam saja karena nggak terlalu akrab dengan si supir dan juga masih dendam dengan Rean. Kalau nggak ada nenek, mungkin aku sudah jadi pasukan berani mati. Tapi di dunia ini hanya nenekku yang bisa membuatku gemetar. Mungkin aku terlalu sayang hingga nggak sanggup melawan.

Mungkin saja....

Ketika aku sampai, aku turun tanpa mengatakan apapun. Aku hanya turun dan langsung melangkah ke pintu depan. Aldi pasti ogah masuk sekolah besok. Anak itu selalu bolos tiap kali habis isi bensin. Alasannya nggak masuk akal. Dia pasti beralasan masih lelah habis antre lama.

Asem!

Jadi besok aku nggak bakalan nebeng Aldi? Oh, ya ampun! Nenek, antar aku nek! Tolong antar aku ke sekolah, nek! Nenek adalah pahlawanku sekarang. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanku, tapi aku nggak berani bilang. Hahaha...

Tapi jelas, itu nggak mungkin.

***

Aku benar-benar sendiri.

Aldi nggak masuk sekolah hari ini. Aku sendirian di dunia ini. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku menghindari Rean karena tragedi nggak jelas kemarin. Cowok itu juga selalu mengerut mirip pembalut tiap kali melihatku. Aku nggak paham apa masalahnya sekarang. Sejak dia diam, teroris di kelasku juga nggak berani berulah. Oh, aku tahu kalau sejak awal si provokator di sekolah ini adalah Ochi. Jelas saja, sudah kelihatan dari awal kok!

Bel istirahat berbunyi. Aku mengucek mataku, lalu melangkah ke kantin lebih dulu. Aku sudah beradaptasi di sekolah ini. Aku sudah paham bagaimana caranya bertahan hidup!

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang