Aku sampai di rumah nenek dengan wajah berbunga-bunga. Nenek yang melihatku datang dengan ceria langsung kaget. Bahkan nenek memeriksa keningku, mengecek suhu tubuhku apa aku waras. Nggak biasanya aku senang seperti ini.
Meski ini bukan ciuman pertamaku, tapi aku merasa kalau itu ciuman terindahku. Aku bahkan nggak tahu kalau ciuma itu bisa seindah ini. Dunia serasa lebih cerah dan juga penuh warna. Nenekku bahkan terlihat lebih muda.
Rean nggak bilang apa-apa setelah menciumku, tapi dia malah memelukku erat. Kepalanya bahkan sudah bersembunyi di antara leher dan bahuku.
"Aku sayang kamu..."
Itu saja yang dia ucapkan waktu itu. Dia nggak nembak aku. Dia nggak nanya apa aku mau jadi pacarnya. Jadi kami nggak ada status. Tapi...
"Jadi milikku?" ucapnya tadi.
Oh, jadi itu permintaan juga, ya!
"Beri aku waktu buat jawab!"
"Kamu nggak suka aku?"
Aku menggeleng. Pasti aku munafik kalau bilang nggak suka Rean. Suka, sih.. sayang, sih... tapi aku masih mencoba menata hatiku. Aku masih terlalu bingung merespon rasa ini. Rasa ini baru kurasakan sekarang. Juga terlalu cepat. Kalau cinta memangnya harus apa? Pacaran antara dua orang cowok, apalagi di desa yang masih terpelosok ini pasti sangat tabu. Bisa-bisa aku dimandikan di air terjun biar bisa mikir bener.
"Ini terlalu cepat, Chi. Aku bahkan belum menyadari perasaanku sendiri."
"Hanya butuh waktu beberapa detik buat jatuh cinta sama seseorang. Lalu butuh beberapa menit untuk tahu namanya. Beberapa jam untuk mengenalnya lebih jauh. Tapi... mungkin butuh waktu seumur hidup buat melupakannya."
"Jadi? Kamu mau melupakan aku?"
Rean menggeleng.
"Hanya aku yang terlalu peka soal ini. Maaf, aku terlalu sensitif."
"Jadilah Rean yang biasanya!"
"Sulit sekarang. Aku nggak bisa balik kayak dulu lagi. Dulu aku masih bisa pura-pura dan sok cuek, sekarang... sulit banget!"
Aku tersenyum geli.
"Kamu dari tadi ngelamun terus, bantuin nenek iris bawang sini!"
Aku baru sadar kalau sejak tadi aku sudah berada di rumah nenek.
***
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah dengan bus biru lagi. Rean dan geng teroris itu ada dalam bus. Tapi auranya beda. Dia tersenyum ke arahku, mengerling, memerintahkanku untuk duduk di sebelahnya. Kali ini aku nurut. Hollaa.... aku nurut. Kalian dengar itu?
Kok aku jadi murahan gini, ya?
Apa ini baik? Kalau sampai Rean menghindar karena aku berubah bagaimana? Aku pernah baca cerita-cerita di internet, katanya seseorang akan berubah kalau sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku hanya.... takut.
Aku menghentikan langkah. Ragu.
Aku berbalik lagi dan memilih duduk di bangku tengah. Aku nggak peduli tatapan Rean tadi, yang melongo dan terkejut karena ulahku. Aku hanya parno. Aku korban cerita. Aku hanya.... nggak mau kehilangan.
Kami turun setelah sampai di depan sekolah. Begitu kakiku sudah turun dari bus biru, sebuah tangan menahan lenganku. Aku menoleh dan mendapati Rean menatapku nggak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Teen FictionAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...