Kalau ditanya apa hal yang ingin kuhindari, dulu aku akan menjawab kantor polisi. Namun saat ini aku mengubah jawabanku dengan alasan aku juga ingin hidup damai. Kalau saja ada Aldi, pasti cowok itu akan ngakak sampai guling-guling kalau tahu nasibku di sini. Seorang Tio yang konon katanya doyan rusuh dan juga punya banyak cewek akhirnya terdampar di sekolah terpencil dan minim fasilitas kekinian.
Masa laluku sebagai tukang bully nomor wahid sepertinya harus berakhir. Aku juga mendapatkan perlakuan seperti korban-korbanku dulu. Karma. Meski nggak ada permainan kekerasan hingga aku berdarah-darah, namun tetap saja... bullying yang ini jauh lebih menakutkan untukku.
Nggak ada tonjokan. Nggak ada. Nggak ada pukul-pukulan ataupun pemerasan. Hanya ada kejahilan. Kejahilan level tinggi yang membuatku harus meradang. Aku sedang menikmati karmaku sekarang ini.
Seperti pagi ini.
Sudah kubilang sebelumnya, kan kalau hanya ada satu bus yang bisa mengantarkanku ke sekolah. Bus bobrok warna biru. Awalnya aku ogah naik bus ini, namun nenek memaksaku melakukannya. Karena sudah nggak tahan lagi, akhirnya aku terpaksa naik. Jadwal pagi bus biru adalah sekitar setengah enam. Jam segini aku masih tidur kalau di rumah.
Pemandangan pertama yang kulihat adalah, bus itu sudah penuh dengan gerombolan murid berseragam SMA. Tentu saja dari SMA kotak sabun itu. Begitu tubuhku sudah masuk dalam bus, mereka semua bersorak. Aku cengo. Nggak paham kenapa mereka melakukan itu. Rean menaikkan alisnya di kursi belakang, bersama Faris dan yang lain.
Hal pertama yang terlintas di otakku adalah : Abaikan mereka.
Aku memilih duduk di samping supir, di bangku panjang yang terasa panas. Bawahnya ada mesin.
"Tio! Tio!" Rean memanggilku. Aku pura-pura budeg. "Woi, murid baru!"
Aku masih pura-pura nggak dengar. Namun sayangnya Rean dan segala jenis aura iblisnya adalah seorang cowok yang punya kendali dan kuasa di bus ini. Mungkin karena dia anak pak kades, sumpah aku nggak peduli dengan itu!
Seorang cewek malah mencubitku.
"Aww!! Apaan?" Aku menoleh, berjengit sebentar karena mendapat respon buruk seperti ini. Cewek itu melotot sarkastik.
"Dipanggil Rean, tuh!"
Aku bengong. Bahkan cewek pun akan melakukan apapun yang Rean ucapkan. Terus terang, rasa benciku mulai bercampur dengan rasa iri. Membumbung dan memuncak seperti perkebunan teh.
"Kalian ngapain, sih?"
"Dipanggil!" Kali ini orang lain lagi yang mencubitku. Sumpah, aku nggak tahu kenapa mereka melakukannya.
"Aku denger, nggak budeg!"
"Trus kenapa nggak ke sana?"
"Males!" jawabku ketus. Rean mendengar obrolanku dan dua orang cewek itu, lantas cowok tengil aura iblis itu mendekat. Dia berdiri tepat di sampingku, menunjuk wajahku sebentar, lalu berdecak.
"Penumpang baru!" ucapnya tajam. Aku masih pura-pura nggak dengar. Karena sudah resah, Rean mendekat lagi. Dia mungkin kesal karena kuabaikan, jadi tangannya menjitak kepalaku. Aku melongo, menoleh spontan.
"Apaan?!" Aku berdiri, spontan.
"Kalau dipanggil itu jawab."
"Aku nggak minat!"
Bus biru bobrok ini sama sekali nggak mendukungku. Supirnya yang sok jadi pembalap profesional itu malah mengerem mendadak. Tubuhku limbung, terjatuh kembali ke kursi panjangku disertai tindihan. Iya, tindihan! Rean juga ikut terjatuh, menimpaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Novela JuvenilAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...