"Dia... gay."
Aku menggaruk tengkukku kali ini. Amarah memang masih menguar dari benakku. Kalau ditanya apa aku baik-baik saja, maka aku akan menjawab nggak. Apa aku homopobhic? Jelas aku nggak takut. Hanya saja aku mulai mencoba menghindari yang seperti itu. Meski aku suka cewek dan cowok. Aku biseks? Mungkin....
"Trus?" Kali ini aku balas bertanya. Rean melongo, menepuk kepalaku dengan wajah bete. Aku melotot ganas. Seenaknya saja dia memukul kepalaku!
"Aku bilang dia itu gay. Dia homo. Dia sukanya cowok."
"Trus kenapa? Bukannya dulu kamu pernah bilang ke aku kalau kalian nggak peduli orientasi seksual seseorang? Selama dia baik maka kalian akan baik." Aku mengedikkan bahu. Sungguh, aku benar-benar kagum waktu itu. Perbedaan mindset orang kota dan desa mungkin salah satunya adalah pada orientasi. Ketika orang kota melihat homo, ada tiga reaksi. Lapis pertama masyarakat akan menghindari dan juga cuek. Mereka nggak mau tahu dan nggak mau terkena dampaknya juga. Lalu lapis kedua adalah mereka yang sibuk menghujat, sibuk membenci, sibuk mengaTAI hingga mereka lupa bercermin tentang diri mereka sendiri. Lalu lapis terakhir adalah mereka yang netral dan juga mungkin ada sedikit kekaguman dari mereka. Tapi lapis terakhir itu biasanya menyembunyikan diri agar nggak dihujat oleh lapis pertama dan kedua. Aku ingin makan kue lapis. Kue yang berlapis-lapis, lemir dan juga berwarna pelangi.
Aku ngelantur. Makasih!
Lalu di desa? Kalau ada gay?
Hanya satu kemungkinannya.
DIRUKIYAH!
Mungkin mereka mengganggap gay ini semacam kerasukan jin dan semacamnya. Oke, itu hanya ungkapan nyinyirku. Nggak ada hubungannya dengan keadaan kami sekarang, soal kenapa Rean harus menyuruhku menjauhi Faris.
"Kenapa kamu nggak paham juga, sih?" Rean berteriak marah.
"Aku harus paham apaan? Dia gay. Iya, tahu. Trus kenapa?"
"Dia suka cowok!"
Aku sudah nggak tahan lagi dengan omongan Rean yang berputar-putar mirip tali kutang itu. Aku melotot, menatapnya beringas dan balas bertanya cepat.
"Trus kenapa?!"
Rean menunjuk dahiku.
"Kamu juga cowok!"
"Lah, trus?"
"Kan dia suka cowok, kamu cowok."
"Kamu bukan cowok?"
Kali ini obrolan kami benar-benar absurd. Aku nggak tahu kenapa kami jadi benar-benar mirip anak SD yang masih polos dan juga bertengkar soal siapa yang paling hebat : Naruto atau Sasuke.
"Dia suka kamu."
"Hah?" Aku melongo, melotot dramatis. Aku nggak paham apa yang ada dalam tempurung kepala cowok ndeso ini. Setahuku Faris biasa saja. Kecuali fakta kalau dia mulai agak ramah dan juga lebih hangat daripada sebelumnya.
"Dia nggak suka deket sama orang lain. Kecuali aku dan beberapa orang. Itu karena kami bersahabat dari kecil."
"Trus?"
"Ya nggak trus-trus. Dia suka sama kamu."
"Jangan bikin kesimpulan seenaknya!"
"Dia suka beneran sama kamu. Buktinya dia mau ngomong sama kamu."
"Itu karena kami nggak sengaja ketemu. Dia juga temen sebangkuku!" Sumpah, kalau ada kontes cowok paling lemot dan juga paling nggak tahu diri, pasti Rean yang akan melambai cantik di podiumnya. Kok ya bisa menyimpulkan seperti itu. Aku bisa melihat tatapan Faris padaku nggak seperti cowok yang sedang naksir atau jatuh cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Teen FictionAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...