Abang Tio tersayang pindah! Sialan! Tai! Asem! Harusnya dia ikut si abang, tapi dia sulit membayangkan hidup tanpa sinyal di sana. Aldi nggak bisa hidup tanpa internet. Gimana kalau gebetan-gebetan seksi itu menghubunginya? Masa lewat telegram? Masa mau lewat fax? Gila kali! Aldi nggak tahu harus bagaimana sekarang. Dia nggak terlalu suka bergaul dengan cowok. Apalagi dia nggak punya teman dekat, selain abang Tio tersayang. Kok menyebut abang pada Tio membuat pikirannya jadi geli sendiri, ya?
Aldi menghembuskan napas.
Mamanya memutuskan untuk menikah lagi. Aldi bukannya nggak suka. Asal mamanya bahagia, itu sudah cukup. Hanya saja... calon suami mamanya adalah mantan kekasihnya. Sialan! Bukan mantan kekasihnya, sih! Aldi hanya pernah diblowjob sekali olehnya. Ketika lelaki atau pria itu ingin memasukkan kejantanannya pada Aldi, cowok itu menolak. Lalu cowok sialan itu datang lagi ke hidupnya sebagai Papa barunya. Jadi, Aldi nolak dan memutuskan untuk menyusul Tio.
Setelahnya dia berjanji akan bermain bersama cewek saja.
Lalu ketika Tio pindah, dia juga memutuskan untuk pindah. Menyusul sahabat tercinta yang sudah dia anggap sebagai abangnya sendiri. Sesekali Aldi memanggil Tio dengan sebutan abang kalau sedang manja.
"Jadi, kamu ada masalah apa sama si Faris?" Tio bertanya cepat. Aldi menggaruk tengkuknya. Dia juga nggak paham kenapa dia sangat membenci teman sebangku Tio itu. Dia ingin berkunjung ke kelas sahabat sekaligus abangnya itu. Abang ngaku-ngaku. Dia ingin sekali mengunjungi kelas Tio. Tapi dia ingat, ada makhluk menyebalkan yang sejak hari pertama bikin masalah dengannya.
Hari itu, untuk pertama kalinya Aldi datang ke desa ini. Dia pergi ke kantor desa untuk mengetahui tempat yang menerima kost. Pak kades mengatakan kalau kos-kosan seperti itu nggak ada. Namun ada sebuah rumah yang sudah nggak dipakai. Rumah itu bisa ditinggali, meski sangat sederhana. Aldi nggak masalah. Dia bisa tidur dimana saja asal nggak kepanasan dan kehujanan.
Tempat itu ternyata terlihat mengenaskan. Hanya ada beberapa kamar, tanpa ruang tamu dan ruang lainnya. Bahkan tembok kamarnya sudah berlumut. Nggak ada kamar mandi, tapi ada sungai dan sumur. Aldi nggak peduli. Dia ingin tinggal di sini saja.
"Jadi tempatnya seperti ini, nak Aldi. Sudah ada yang tinggal di sini. Mereka tinggal karena deket tempat kerjanya di perkebunan." Pak kades menjelaskan. Aldi mengangguk dan tersenyum berterimakasih. Namun ketika dia memasukkan motornya, seorang cowok menghalangi jalannya. Cowok itu menatap Aldi tajam.
"Kamu siapa?" Dia bertanya ketus.
"Ah, aku yang kos di sini. Anak baru. Salam kenal..." Aldi berusaha ramah dengan orang baru. Dia nggak mau cari masalah di sini sekarang. Orang desa juga ramah sekali. Tadi dia ditawari buah-buahan dalam perjalanan ke sini.
Padahal dia nggak kenal mereka. Mungkin karena wajahnya tampak seperti anak manis dan baik-baik. Padahal aslinya nggak. Tukang tawuran. Gampang emosi. Mudah terbujuk. Provokator.
Cowok itu mengambil sepedanya dan pergi dari tempat itu. Aldi melongo. Dia berdecih jijik. Ini hari pertama tapi dia sudah menciptakan musuh baru. Aldi nggak tahu kenapa cowok-cowok sepertinya banyak yang membencinya. Tas besarnya dia bawa masuk ke dalam kamar barunya. Dia tersenyum. Besok dia harus sekolah. Saatnya memberikan kejutan pada Tio tersayang. Aldi menunduk, menatap HPnya. Nggak ada sinyal sama sekali.
Bagus.
Aldi nggak pernah berharap untuk punya teman dekat di desa ini, namun orang tua cowok ketus tadi selalu saja baik padanya. Mereka mengajak Aldi makan bersama meski pada akhirnya Aldi terpaksa menolak. Dia bawa motor, jadi dia bisa saja beli makan di warung. Meski beli bensinnya jauh sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bus Biru
Teen FictionAda sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua ora...