Final decision

6.1K 314 14
                                    

Pagi ini aku bergegas ke Rumah Sakit. Stef juga menemaniku. Setelah kejadian semalam yang menyebabkan aku tertidur karena terlalu lelah menangis, aku tidak jadi ke Rumah Sakit. Jadilah seharian ini aku akan berada di Rumah Sakit. Aku berencana akan menginap di Rumah Sakit selama daddy dirawat.

"Semalam aku beli makanan untuk kamu, Kei. Tapi kamu seperti tertidur nyenyak. Aku sudah mengetuk pintu kamar mu tapi tidak ada sahutan. Sekarang kita sarapan dulu ya"

Aku mengangguk mengiyakan ajakan Stef. Sebenarnya aku tidak memiliki selera untuk menelan sesuap makanan pun, tetapi Stef pasti lapar. Biarlah aku menemaninya makan.

Stef membelokkan mobilnya kearah kedai Soba di Asakusa. Kedai soba ini jika dilihat dari luar seperti kedai soba tradisional lainnya. Namun begitu masuk, kita dihadapkan dengan Vending Machine untuk memesan makanan. Kedai ini tidak begitu besar. Ada 3 buah meja serta sebuah meja bar. 

Aku memesan dua hot soba untukku dan Stef serta satu teko ocha. Awalnya aku ingin memesan cold soba, tapi cuaca hari ini sangat dingin. Setelah memesan kami duduk di meja bar. Kedai ini dijalankan oleh seorang wanita. Semua tugas dilakukan olehnya. Mulai dari menjadi juru masak, kasir serta membersihkan kedai.

Kami makan dalam diam, Stef terlihat sangat menikmati makanannya. Aku yang awalnya tidak berselera tetapi setelah mencicipi sedikit soba ini nafsu makanku langsung meningkat.

"Mau tambah, Kei? Aku mau tambah lagi. Enak sih, dingin pula jadi cepat lapar" Stef menyengir.

Aku mengangguk lalu berjalan menuju vending machine. Vending machine ini menggunakan bahasa Jepang. Jadilah aku yang memesan karena Stef tidak menguasai bahasa Jepang.

Setelah menghabiskan seluruh makanan, aku merapikan gelas dan piring yang kami gunakan lalu mengembalikannya ke wanita penjaga kedai. Di kedai ini, begitu selesai makan kita harus mengembalikan alat-alat makan, tidak boleh diletakkan begitu saja di meja. Sangat efisien dan sesuai dengan budaya jepang yang mandiri.

****

Begitu tiba di Rumah Sakit, Stef membiarkanku berdua dengan daddy di kamar. Setelah meletakkan barang bawaanku, Stef menunggu di luar bersama om Indra. Aku berterima kasih untuk itu karena aku ingin bercerita dengan daddy, walaupun daddy tidak mendengar apa yang aku katakan.

"Daddy" Aku duduk di kursi samping tempat tidur daddy lalu menggenggam tangannya.

"Kei, ingin meminta restu daddy. Kei ingin meminta izin dari daddy untuk bercerai dari Ken. Kei tahu daddy saat ini tidak bisa mendengar Kei. Tapi Kei rasa inilah jalan terbaik untuk kami. Ken... Ken tidak akan pernah bisa mencintai Kei karena dihatinya hanya ada Rein. Dan sekarang Rein kembali... Rein kembali membawa cinta mereka." aku menceritakan semuanya pada daddy dengan suara yang parau.

"Ken... Ken su-dah menikah dengan Rein, da-ddy... Ken membohongi Kei, daddy. Dia... Dia meminta Kei un-tuk ber-janji akan selalu bersama, tapi.. tapi lihatlah daddy, siapa yang mengingkari ini semua" Penjelasanku patah-patah karena isak tangis yang tidak dapatku bendung. Omong kosong dengan janjiku yang mengatakan bahwa kemarin terakhir kalinya aku menangis, nyatanya luka ini terlalu menyakitkan. Tidak kuat. Aku tidak kuat untuk menahan isak tangis ini.

"Kei.. Kei akan mendaftarkan perceraian kami ke pengadilan. Bukannya Kei tidak mencintai Ken. Bukan seperti itu, daddy. Selama kami menikah, dengan perlakuan Ken yang selalu lembut pada Kei, dia berhasil membuat Kei jatuh cinta. Tapi ternyata semua itu hanya palsu, daddy. Mungkin ketika dia memperlakukan Kei seperti itu, yang ada dibenaknya adalah Rein. Tak apa, daddy. Kei tidak apa-apa asalkan ada daddy disisi Kei. Untuk itu Kei mohon, daddy harus sembuh. Daddy harus menemani Kei. Hanya daddy yang Kei punya di dunia ini"

Aku menghapus air mata yang mengalir di wajahku. Aku harus kuat. Harus tegar. Aku memeluk daddy lalu mencium pipinya. 

"Stef, temani aku ke kantin sebentar ya" Aku keluar dari ruangan daddy. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan pada Stef.

"Aku pesanin minuman dulu, Kei. Kamu duduk aja dulu. Kamu mau makanan juga?"

Aku menggeleng. Bukan makanan yang aku butuhkan saat ini. 

Aku memilih bangku yang ada di pojok agar lebih leluasa berbicara. Stef kembali membawa dua paper cup yang mengeluarkan asap mengepul. Dia membawakan matcha latte untukku.

"Stef, aku mau minta tolong"

Stef memandangku. Menunjukkan tatapan bertanya.

"Aku ingin bercerai dengan Ken. Tetapi aku tidak ingin kembali ke Indonesia. Tidak tanpa daddy. Bisakah kamu membantuku mengurus ini? Apa kamu ada kenalan pengacara?" Aku menjelaskan permintaanku.

Stef tampak terkejut. "Kei... apa kamu yakin? Aku tau apa yang dilakukan Ken ini salah. Sangat salah. Tetapi kalian belum membicarakan masalah ini. Jangan membuat keputusan disaat sedang emosi Kei. Aku tidak ingin kamu menyesalinya di kemudian hari."

Aku menggeleng. "Aku dengar Stef. Aku dengar ketika Rein meneleponmu semalam. Mereka sedang honeymoon kan? Bahkan disaat seperti ini dia lebih memilih bersenang-senang dengan istri barunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaanku, Stef"

Wajah Stef tampak murung. Aku tidak terlalu menghiraukannya. Mungkin dia merasa bersedih atas apa yang menimpaku.

"Baiklah Kei. Aku akan urus masalah perceraian kamu. Kamu disini saja menjaga daddy kamu. Besok aku akan ke Seoul pagi-pagi sekali, ada urusan bisnis yang harus aku selesaikan. Nanti aku telepon pengacaraku. Setelah urusan di Seoul beres, aku akan ikut mengurus masalah ini dengan pengacaraku."

"Terimakasih, Stef. Terimakasih. Aku ingin ini semua segera berakhir, aku sudah lelah. Aku ingin bahagia tanpa dia" aku terisak dipelukan Stef.

****

Akhirnya dapet sinyal lagi. Beberapa hari yang lalu aku keluar kota, susah banget dapat sinyal dan dapet waktu luang buat nulis. Jadi deh sekarang baru bisa update :)

Silahkan dibaca, di vote dan di comment :D

Im not the only oneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang