"Keeeeenn, long time no see. Apa kabar kamu?" dia menyapaku dengan suaranya yang masih saja ku ingat. Suara merdu bak semilir angin. Begitu menyejukkan.
Aku tersenyum. "Kabarku baik. Kapan balik ke Jakarta, Rein?" aku bertanya karena setahuku, Rein diminta ayahnya untuk mengurus perusahaan mereka di Brunei. Dan itulah awal perpisahan kami. Awal mula aku bertekad untuk melupakan rasa cinta ini. Tapi kalau dia kembali di sekitarku, entah apa yang akan terjadi.
"Beberapa hari yang lalu, Ken. Papa memintaku untuk kembali mengurus perusahaan disini. Yang di Brunei sudah stabil. Maklumlah Ken, anak tunggal seperti aku ini Cuma bisa pasrah" dia terkikik. Sangat menggemaskan.
Obrolan kami pun mengalir. Saling menceritakan kehidupan ketika kami terpisah. Ternyata dia disana sangat sibuk. Walaupun begitu terkadang kami tetap berkomunikasi. Hanya saja beberapa bulan ini dia seperti menghilang. Dari ceritanya barulah aku tau kalau ternyata papa nya sedang sakit dan perusahaannya sedang mengalami masalah. Pasti berat untuknya menjalani ini sendiri.
"Jadi gimana, Ken? Menurutku dan papa, perusahaan kamu yang cocok untuk bekerja sama dengan kami." Dia bertanya setelah menjelaskan maksud kedatangannya menemuiku. Perusahaannya ingin mengadakan kerjasama dengan perusahaanku untuk proyek terbaru mereka. Sungguh ini kesempatan besar yang akan memajukan perusahaanku. Hanya saja aku tidak yakin dengan hatiku kalau terus menerus berada di dekatnya.
"Kamu boleh pikirkan dulu. Jangan mengambil keputusan hanya karena aku adalah sahabatmu, Ken. Bagaimanapun ini bisnis". Dia tersenyum melihatku yang hanya terdiam.
"Baiklah, Rein. Aku terima kerjasama ini. Karena ini juga akan membawa pengaruh besar bagi perusahaanku." Aku tersenyum
"Oke, deal" ia menyodorkan tangannya.
Aku terdiam sebentar lalu menyambut tangannya. "Deal" kataku.
Ada sesuatu yang tak biasa setiap aku menyentuhnya. Walaupun hanya berjabat tangan seperti tadi. Rasanya ada listrik yang menyentrumku. Menghantarkan jutaan kupu-kupu ke perutku.
"Oke kalau gitu aku balik dulu ya, Ken. Nanti kita bicarakan lagi mengenai ini". Ia bersiap bangkit dari duduknya.
"Kamu tinggal dimana, Rein? Rumah kamu yang disini bukannya sudah dijual?"
"Oh aku tinggal di apartment, Ken. Apartmentku dulu tidak aku jual, jadi aku bisa tinggal disana."
"Kalau gitu kapan-kapan aku boleh mampir dong? Seperti jaman kita sekolah dulu, udah lama kita terpisah". Entah setan apa yang merasuki aku. Kenapa aku tidak berpikir dulu sebelum berbicara. Padahal aku tau damak apa yang akan terjadi kalau kami kembali dekat.
"Boleh, kabarin aja nanti ya." Balasnya sembari meninggalkan ruanganku.
Aku tersenyum mengingat setiap detail wajahnya. Ia masih seperti dulu, hanya saja kali ini dia sudah bertambah dewasa. Suaranya, tawanya dan senyumnya masih sama seperti ingatanku. Semuanya yang membuat aku jatuh padanya.
Suara berdering dari telepon genggamku mengusik lamunanku. Mama yang menelpon. Astaga aku lupa kalau harus menjemput Kei yang sedang bersama mama. Segera saja aku meninggalkan kantor dan menuju Mall tempat mama dan Kei bertemu.
****
Berhari-hari berlalu sejak pertemuanku dengan Rein. Dia belum menemuiku kembali. Kontrak kerjasama sudah dikirimkan bawahannya. Aku gelisah, ingin berteu dengannya. Rasanya sudah tidak bisa menahan rasa rindu ini. Wajar saja karena sudah lama kami tidak bertemu.
Aku memutuskan untuk menelponnya. Panggilanku dijawab pada dering keempat.
"Ya, Ken?" sapanya
"Rein, lagi sibuk gak kamu?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Im not the only one
RomanceYou'll know if you read this story ;) Cover: @wallpaper_here