"Ya Stef?" Sapaku saat menjawab panggilan telepon darinya.
"Kei... it's done. Kamu.. sudah resmi bercerai dari Ken"
"Ya.." aku menghembuskan napas. Ada jeda cukup panjang antara percakapan kami. Aku menunggu Ken melanjutkan, karena aku tidak akan sanggup untuk bertanya.
"Sidangnya tidak terlalu lama, juga tidak terlalu sulit. Karena kamu tidak menuntut hak apapun, dan.... eemm.. Ken juga langsung menyetujui permohonan perceraian kalian"
Air mata yang sedari tadi berusaha aku tahan akhirnya mengalir juga. Sebegitu tak berarti kah aku di matanya? Sampai semudah itu ia menceraikanku tanpa berniat menjelaskan apapun. Sebegitu tak dianggapkah aku ini?
Aku memutuskan panggilan dari Stef begitu saja. Aku tidak sanggup kalau harus menangis di dekat daddy, jadi aku memutuskan untuk meninggalkan ruangan daddy.
Kaki ku melangkah tak karuan, aku tidak punya tujuan akan kemana. Aku butuh sendiri. Benar-benar butuh sendiri untuk memulihkan rasa sakit ini. Aku terus melangkah, memencet dengan tidak sabar tombol lift. Dan dengan secepat kilat aku melangkah masuk ketika pintu lift terbuka. Hanya ada aku disini.
Aku terduduk di dalam lift. Meringkuk di pojok. Menangis mengeluarkan semua sakit ini. Kenapa? Kenapa begini? Apa salahku?
Lift berdenting, sudah tiba di bagian paling atas Rumah Sakit ini. Aku melangkah gontai, kaki ini goyah. Tidak sanggup menopang badanku.
Aku kembali terisak. Mengingat semuanya. Beberapa bulan ini apakah hanya imajinasiku saja? Apakah hanya halusinasiku bahwa Ken terlihat menyayangiku? Apakah aku yang terlalu percaya diri?
Aku masih bertanya-tanya, dosa apa yang telah ku perbuat. Mengapa Ken mencampakkan ku semudah itu. Tidakkah terbersit sedikit rasa bersalah di hatinya? Bahkan mencari tau keberadaanku saja tidak pernah. Setelah sebulan lebih aku menghilang, dia disana sedang bahagia bersama istri barunya.
Tuhan, Kei waktu itu berjanji untuk tidak nangis lagi, tapi kali ini... rasanya sungguh perih. Tuhan, buatlah ini air mataku yang terakhir untuk menangisinya. Biarkan aku menjalani hidup yang baru tanpanya. Jadikanlah aku kuat menjalani ini.
****
Aku tidak ingat berapa lama aku menghabiskan waktu di atap gedung ini. Ketika aku kembali, langit sudah gelap.Aku membuka pintu ruang rawat daddy. Daddy masih tertidur pulas. Masih enggan bangun dari tidur panjangnya. Aku memeluk daddy. Mengelus lengannya.
"Daddy... semua sudah berakhir. Doakan Kei kuat ya, daddy" aku kembali memeluk daddy.
Aku terbangun karena suara melengking yang berasal dari alat deteksi jantung. Dengan panik aku memanggil perawat yang sedang bertugas.
Jangan. Jangan. Ku mohon jangan lagi. Jangan, daddy. Jangan. Aku terus meracau disudut ruangan. Dokter sedang sibuk dengan alat-alat ditubuh daddy. Entah apa yang mereka lakukan, aku hanya berharap daddy kembali. Tidak kali ini, aku tidak mau kehilangan daddy.
Om Indra terus memelukku, berusaha menenangkan aku yang begitu panik. Ingin rasanya berdiri di dekat daddy, tapi perawat itu tidak mengizinkanku.
Aku terus menatap ke arah daddy, berharap daddy segera membuka matanya. Kei mohon daddy, bertahanlah demi Kei.
Dokter menghampiri kami. Dia, dokter itu sudah kehilangan akal sehatnya. Dia mencoba menipu ku. Dan aku tidak akan terpedaya. Dia pembohong! Daddy masih hidup!
"Daddy ku masih hidup!" Aku menatap marah padanya. Dadaku naik turun menahan gejolak amarah. Beraninya dokter ini membohongiku.
"Kei.. Kei sadar, nak. Ikhlas kan... Ikhlas kan, Kei"
Aku menatap tajam Om Indra. Aku menggeleng sekuat tenaga hingga hitam pekat menyelimutiku.
****
Hai, makasih buat yang masih setia nungguin cerita aku ya. Maaf lama banget gak update soalnya kerjaan bener-bener lg nyita waktu aku.
Sorry kalo updatenya dikit dan kurang feel nya, tapi aku bakal usahain update secepatnya. Insyaallah dalam minggu ini juga :)
Vote & comment nya masih di nanti lho ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Im not the only one
RomanceYou'll know if you read this story ;) Cover: @wallpaper_here