BAB 14

30.7K 2.4K 64
                                    



Basel tidak pernah menyukai bau rumah sakit. Baunya menyengat, membuat gerahamnya gemeletuk menekan keras tanpa sadar. Hari ini dia duduk di samping Ayahnya yang terhubung dengan mesin bersuara mengerikan.

Dia menatap pria yang tertidur diatas ranjang itu. Dia bisa melihat sekilas dirinya dalam diri Ayahnya. Alis tebalnya, rahang tegasnya, dan mungkin mata gelapnya jika Ayahnya bisa membuka matanya.

Basel bersedekap dan memiringkan kepalanya menatap pria paruh baya itu.

Jika seandainya pria ini ada dalam hidupnya apa semuanya bakal berubah? Dia kemudian memikirkan sebuah keluarga lengkap, dan hatinya mendadak berdenyut sakit. Dia mendengus dan menutup matanya erat.

Untuk apa memimpikan hal tidak masuk akal. Dia tidak akan bisa mengulang waktu dan waktupun tidak bisa mengulang dirinya sendiri. Basel sudah menghabiskan masa kecilnya tanpa figur seorang ayah, dia sudah menghabiskan masa kecilnya dengan berbagai pertanyaan mengapa ayahnya setega itu meninggalkan ibunya, dan dia menghabiskan hidupnya untuk membenci seorang yang mungkin tidak pantas di benci.

Ada dua sisi dari sebuah cerita.

Dan dia ingin mendengarkan dari sisi pria ini.

Jadi dia gak boleh pergi gitu aja.

Basel memijat pelipisnya dan kemudian berjalan keluar dari ruangan rawat inap ayahnya. Dia berjalan ke arah koridor dan kemudian duduk dikursi tunggu di depan kamar. Matanya menutup, dia menghirup nafasnya dalam-dalam.

Tiba-tiba ponselnya bergetar.

TASHA : Kak ini udah beres tugasnya, ingatkan aku untuk membawanya esok hari ya .

TASHA : Eh tapi kakak gak akan masuk besok? Apa masuk? Kalau gak masuk ntar aja aku bawanya.

TASHA : mong-omong, itu muka udah di kompres?

Basel diam, menatap pesan LINE yang masuk. Dan tanpa sadar dia kemudian menekan tombol panggil dan menempelkan ponselnya ke kupingnya. Terdengar nada tunggu, tiga kali hingga Tasha kemudian mengangkat telefonnya.

"Halo?"

Basel menatap langit-langit rumah sakit. "Hai."

"Ada apa Kak?"

Ada apa.

Pertanyaan yang sama dengan yang ingin ia tanyakan juga pada dirinya sendiri. Kenapa, bagaimana, kapan, apa, ada apa. Tapi pada akhirnya tidak ada satu jawabanpun yang bisa ia dapatkan. Basel menutup mulutnya rapat-rapat.

"Udah di kompres belum?" suaranya Tasha terdengar ragu, bertanya kembali ketika Basel tidak menjawab pertanyaan pertamanya. Tasha kemudian bicara lagi, kali ini terdengar riang seperti biasa. "Jangan lupa salepnya juga. Kalau engga nanti mukanya sembuhnya makin lama."

"Iya sus."

"Sus? Kue sus?"

"Suster," terang Basel.

"Ih disangkanya aku tuh kue sus, tunggu atau itu karena aku lapar ya? Eh kak kok tugasnya banyak banget sih, cape tau nulisnya."

"Salahin Bu Sri aja, jangan gue."

"Kok Bu Sri?" Tasha terdengar tertawa di sebrang sana. "Mana ada. Guru sejarah namanya Bu Tina Kak, Bu Sri tuh guru Geografi."

"Oh iya ya? Ah bodo deh," kata Basel sambil mendengus geli. Dia bersender pada dinding belakangnya.

"Tapi kak ya, emang ini gak akan gak ketauan gitu? Akukan tulisannya lebih ehem rapih dibanding kakak."

"Selama gak ada bukti secara langsung, dia gak bisa marahin gue seenak jidat," kata Kak Basel santai.

Basel & TashaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang