Bermula dari Hati Nurani

1.2K 50 11
                                    


"I am being a writer, and everybody knows that writers do stupid things all the time."

26 September, 2014


Sebagai status linimasa facebook yang ditulis sebelum memutuskan akan berkarir sebagai penulis, aku tadi heran mengapa kalimat pernyataan di atas bisa menjadi statusku. Ramalan, mungkin?

Pada masa-masa itu, aku hanyalah penyair komedian amatir di media sosial untuk kalangan terbatas. Terbatas di sini karena jarang statusku yang terbuka untuk umum saat itu. Dan dari sekitar 4000-an pertemanan, mungkin yang sempat membaca statusku hanya segelintir. Takkan lebih dari 400 orang.

Pada saat itu, kalimat di atas terkait dengan typo dalam menulis, karena aku tidak merasa melakukan 'stupid things'. Setidaknya tidak setiap saat.

Namun akhir-akhir ini aku sadar maksud tulisanku itu tertuju pada penulis opini politik. Tidak ada yang lebih bodoh daripada penulis politik. Dan kalau ada yang tersinggung dengan pernyataanku ini, tuntut saja aku. 

Aku belum menemukan bahwa politik itu baik, dan karena itu menjadi golput.

Dengan dasar ilmu eksakta yang aku pegang erat: skeptis, skeptis dan skeptis, maka segala opini politik adalah omong kosong besar. Opini yang dibuat untuk menggiring opini dengan logika dibuat-buat, karena tidak ada yang pasti dalam politik. Bagiku, berbohong untuk tujuan baik saja sudah sulit nalarku menerimanya, apalagi berbohong demi politik. Bejatnya dua kali. Dan itulah yang dilakukan oleh para penulis politik. 

Para penulis fiksi yang membawa dunia nyata ke alam pura-pura jauh lebih jujur daripada penulis opini politik yang berpura-pura di dunia nyata.

Namun, perkembangan ekonomi, sosial dan budaya bangsa tak bisa terlepas dari pengaruh politik, yang sangat terasa setelah aku menulis status di awal tulisan ini. Asap mesiu perang para penulis politik yang berseteru sungguh membikin pedih mata hati, sesak nafas nurani. Kebohongan demi kebohongan secara simultan dan kontinyu ditembakkan ke wajah publik, seakan-akan dengan demikian maka kebohongan akan diterima sebagai kebenaran, berdasarkan diktum 'if you repeat a lie often enough, it becomes truth'.

Tidak. Jika sebuah kebohongan dilakukan berulang-ulang, maka ia akan menjadi POLITIK.

Maka aku memutuskan untuk menulis catatan tentang politik berdasarkan status-statusku di facebook, untuk mengingatkan bahwa aku tahu sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang bukan seperti yang digambarkan para pembuat opini berbayar. Bersenjatakan akal dan nurani, aku membuat catatan perlawanan. Apakah aku lebih baik dari mereka—para penulis opini politik?

Aku masih punya nurani. Jika sejarah membuktikan bahwa aku salah, setidaknya aku menulis dengan hati nurani. Itu yang membedakan aku dengan mereka. Itu saja.


Bandung, 1 April 2016


Oposisi PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang