Sesat Pikir

201 10 1
                                    

Apa yang melahirkan sebuah opini? Ada deduksi logika dari pengolahan sederet data dan fakta. Mungkin juga dari khayalan mimpi dan pengharapan yang bisa saja sia-sia. Mungkin dua-duanya.

Ketika sebuah citra tentang sosok bersarung sedang berjongkok di tepi selokan jernih yang menjadi pemisah antara benteng puri istana dengan tanah perdikan yang dikerjakan rakyat jelata dalam kisah-kisah tentang peri, satria berbaju zirah dan putri terpenjara di puncak menara; seribu satu mata yang memandang akan mengantarkan imaji tersebut melalui urat-urat saraf dari retina menuju pusat pengolah data, menghasilkan persepsi yang berbeda-beda. Tak ada yang sama. Mungkin hanya akan menjadi cerita yang terlupakan jika media raksasa tidak mengangkatnya menjadi berita utama, dengan epilog: 'Kalau kalian apa?'

Algoritma deduksi logika melahirkan bermacam cara untuk memuntahkan opini sinis berupa dengus sinusitis hingga komedi?satire, ketika sederet fakta bahwa gambar serupa berulang kali memenuhi layar-layar kaca tanpa makna, diawali detail upacara berlari-lari para punggawa yang jelas jejas disimpulkan gadis cerdas lingkar pertama bahwa imagogi rumusan Milan Kundera telah dijadikan faham anutan sebuah rezim, dan strata siapa yang berkuasa nyata-nyata digariskan oleh sebuah wahana golf berdaya arus sejajar.

Deduksi logika yang terus menemukan KEBENARAN dalam berbagai kejadian peristiwa: traktor tangan angin surga, pesta panen tanpa pemanen beserta maklumat swasembada pura-pura, ulang alik dongeng dejavu pahlawan kesenjaan, sampai tawaran kematian budaya bagi puak pengelana rimba. Bagi pemegang logika semuanya bermuara pada kesimpulan yang sama: itulah yang disebut logis. Cogito ergo sum.

Khayalan yang lahir dari mimpi pengharapan yang terbaring di altar pemujaan mencoba memberi takwil, makna segala rupa berdasarkan tafsir udara hampa dan diputuskan bahwa berjongkok di tepi selokan adalah filsafat sempurna, pesan alam semesta, melebihi pengampu ilmu bathin dan ilmu jiwa, yang justru terkadang salah menjatuhkan sangka Einstein terbelakang dan Feynmann sakit jiwa. Sah-sah saja. Tak ada larangan untuk bermimpi hitam putih atau berwarna, atau berharap di ujung pelangi melimpah emas permata.

Tapi menjadi keanehan luar biasa, ketika pemimpi menandai pemenang logika sebagai sesat pikir, benak digerogoti belatung penyebab gangren, jika tidak bersedia menerima takwil gaib.

Sungguh cacat logika.


Bandung, 26 Februari 2016

Oposisi PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang