Suara ponsel yang berteriak di atas meja, tak menarik perhatianku. Aku biarkan benda itu terkapar di sana. Barangkali yang sedari tadi menelepon itu Gio.
Entahlah, aku merasa biasa saja. Hatiku rasanya tak menyimpan setitik rasa cinta lagi padanya. Ada hal lain yang memenuhi hatiku. Mendesaki setiap sudut kosong di dalamnya.
Alif Hafizh Sharkan.
Itu lah yang menguasai pikiranku seharian ini. Hal-hal yang aku lakukan bersamanya beberapa hari yang lalu, seolah melesat ulang di kelopak mata. Setiap kata yang diucapkannya, seolah terngiang dalam kepala. Membuatku tak memahami apa yang aku rasakan saat ini.
Barangkali aku telah salah menentukan pilihan selama ini. Seharusnya, dulu aku tidak mengakhirinya begitu saja. Atau seharusnya aku tidak jatuh cinta pada Gio begitu saja. Mungkin saat itu aku terlalu cepat menyimpulkan bahwa yang aku rasakan pada Gio itu adalah cinta. Terlalu cepat aku mengakui bahwa itu cinta. Baru kali ini aku menyadarinya.
Baru kali ini menyadarinya? Apa karena Alif? Aku tidak pernah menyangka akan berbicara dengannya lagi. Bahkan kali ini aku dan dia jauh lebih dekat dari sebelumnya. Seringkali aku menceritakan hal-hal yang bahkan aku tidak menceritakannya pada Gio. Setiap ada masalah, tiba-tiba yang kuutemui adalah Alif, bukan Gio atau Venus lagi.
Rasanya aku tidak percaya. Aku hanya berniat untuk membantunya saja. Tapi kali ini, mengapa perasaanku berbeda. Aku tak seharusnya merasakan seperti ini.
Kedekatanku dan Alif membuat hatiku mati rasa terhadap Gio. Aku seringkali mengabaikannya. Bahkan ketika dia mengirim pesan padaku, aku merasa enggan untuk membalasnya. Dan hanya keributan yang terjadi selanjutnya.
Aku tidak ingin menyakiti Gio. Dia teramat baik. Dia selalu berusaha membuatku bahagia, bagaimana pun caranya. Rasanya dia tidak pernah mengatakan hal-hal yang menyakitiku. Dia selalu berusaha membuatku merasa nyaman bersamanya. Dan kini aku malah mati rasa terhadapnya.
Sejak saat itu aku sering bertengkar dengan Gio, bahkan karena hal-hal sepele. Entah kenapa aku selalu ingin marah ketika Gio mengirimiku pesan, bahkan saat dia meneleponku. Ketika bertemu, aku bersikap dingin padanya.
Pernah sekali dia menanyakan kenapa aku berbeda dari biasanya. Bukannya menjawabnya, aku langsung pergi meninggalkannya. Namun, dia tetap sabar menghadapi sikapku. Dia masih saja mengirim pesan padaku, meski aku hanya membalasnya semauku saja.
Aku sadar hal ini salah. Melampiaskan semuanya pada Gio yang bahkan tidak tahu apa-apa sama sekali. Perasaanku tak menentu, hatiku kalut, pikiranku tak bekerja seperti biasanya. Aku tidak ingin menyakiti Gio. Itu sebabnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Aku tak ingin membuat keributan terus dengannya, berdebat karena hal sepele. Aku tidak ingin terus-menerus membuatnya bersabar menghadapiku.
Saat itu aku mengatakan pada Gio untuk mengakhiri hubungan dengannya. Dia terlihat tidak ingin mendengar hal itu. Dia menanyakan alasan di balik semua perkataan yang kulontarkan padanya. Apakah aku sudah bosan, apakah Gio ada salah, apa karena Gio terlalu sibuk dan tidak memperhatikanku lagi. Banyak hal yang dia utarakan. Bagaimana mungkin aku bisa berkata bahwa aku melakukan hal ini karena hatiku telah merasakan perasaan yang lain pada seorang laki-laki selain dia. Ini akan menyakitinya.
Tak ingin membuatnya sakit hati, aku berkata bahwa aku tidak ingin membuatnya kecewa lagi karena sikapku akhir-akhir ini yang seringkali cepat marah dan tidak bisa mengendalikan emosiku. Namun, dia malah menggenggam lembut tanganku dan berkata bahwa dia tidak apa-apa dimarahi seperti itu, dia tidak apa-apa kalau aku membuatnya merasa kecewa, hanya saja dia tidak ingin kehilangan diriku. Dia bahkan memohon agar aku tidak memutuskan hubungan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back On True Love
Spiritual[FINISH] --- Ketika hati jatuh untuk yang kesekian kalinya pada pemilik hati yang sama. Haruskah rasa ini ku teruskan? Seandainya saja bisa, aku akan melakukannya. Mempertahankan rasa untuknya. Namun, ada luka yang pernah kulukiskan di hatinya. Dan...