Kulihat di luar sana Gio sedang berbincang dengan Faiz. Aku merapikan pakaianku dan berjalan menghampiri mereka berdua.
"Ayo, Gio," ajakku.
"Oh, udah siap, Nay. Kalau gitu, ayo."
"Faiz, aku pergi dulu, ya. Gak akan lama kok."
"Hati-hati, Nay."
Gio mengajakku ke tempat pertama kali kami pergi bersama.
Sesampainya disana, kami duduk di bangku taman. Tempat ini asih terlihat indah.
"Masih ingat?" tanyanya tiba-tiba.
"Ya, masih," jawabku singkat.
"Kenapa?" ia menatapku dan aku tak suka itu.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Apa kamu bosan?"
"Enggak. Aku gak apa-apa."
Aku sedang tak ingin banyak bicara.
"Hmm ... gitu, ya."
Lama aku dan Gio larut dalam hening. Tidak ada yang berkata lagi. Gio pun hanya memandangi pemandangan di sekitar. Aku memainkan jari-jari tanganku.
"Kita pulang aja." Gio beranjak dari tempat duduknya.
Tanpa menjawab aku mengikutinya dari belakang. Gio mengantarku pulang. Terlihat raut wajahnya sedih. Aku merasa tidak enak hati padanya.
💞
Hari ini Alif memintaku untuk menemuinya di tempat biasa. Ya, di taman belakang.
Sebelum pergi menemuinya, aku menelepon Venus. Sudah terlalu lama rasanya aku tidak mendengar suaranya.
"Hallo, Ven?"
"....."
"Bagaimana kabarmu di sana?"
"....."
"Aku juga baik. Kapan pulang? Aku kangen."
"....."
"Malam ini? Oke. Hati-hati."
Aku mematikan ponselku dan memasukannya ke dalam tas. Venus memang sedang ada urusan keluarga. Ia pergi ke rumah neneknya di Bandung beberapa hari yang lalu.
Aku berjalan menuju taman. Kulihat Alif sudah menunggu di sana.
"Maaf menunggu lama." Aku mencoba meredakan debaran jantung yang saat ini berdetak lebih cepat.
Memang, awalnya aku merasa biasa saja saat menemuinya. Namun, entah sejak kapan aku jadi deg-degan setiap akan bertemu dengannya.
"Gak apa-apa," katanya.
Aku duduk di tempat yang telah ia persilahkan.
"Nay, jadi gimana?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Gimana apanya?" aku mencoba mencerna perkataannya
"Aku rasa Venus gak akan pernah suka sama aku." Ia terlihat memandang kosong ke depan.
"Jangan ngomong gitu," hiburku.
Sebenarnya ada rasa sakit saat Alif mengatakan hal itu. Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang egois. Bagaimanapun aku harus tetap membantunya. Aku mencoba meredam perasaanku.
"Tapi, Nay—" belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, aku memotong kata-katanya.
"Udahlah, aku bakal bantu kamu, kok. Malam ini Venus pulang. Besok kamu bilang aja perasaan kamu ke dia. Ya, aku bakal nyusun rencana untuk itu," ujarku tanpa pikir panjang.
"Terima kasih banyak, Nay. Aku bakal seneng, kalau nanti Venus menerimaku," balasnya.
"Akan kupastikan hal itu terjadi. Udah, ya. Alu duluan." Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya.
Aku ingin lebih lama lagi bisa duduk di sampingnya. Tapi ada perasaan yang tak bisa aku tahan. Dan juga kubangan air di pelupuk mataku terasa semakin berat.
Seharusnya aku tahu resiko ini.
Tak seharusnya aku menawarkan bantuan itu padanya dulu. Hingga akhirnya aku menyadari kesalahan fatal yang kubuat.
Rasa menyesal terus menerus menghinggapi pikiranku. Membuat mataku tak bisa terpejam dengam tenang, saat malam tiba.
Aku tidak suka menyembunyikan perasaan seperti ini.
Terlihat Gio yang melihat ke arahku di sudut taman yang lain. Menatapku seolah rindu itu terkumpul di pelupuk matanya. Namun, kenyataannya rindu itu tak sampai padaku. Aku tak merasakan lagi rindu padanya.
Rasa bersalah mulai menggerayangi pikiranku lagi.
Memang salah apa yang aku lakukan dulu. Memilih untuk melabuhkan hatiku pada orang yang membuatku terlihat sebagai pemeran antagonis. Namun, apa yang bisa kulakukan untuk melawan hatiku saat ini.
Terdiam, angin menerbangkan dedaunan yang gugur.
Seperti itu kiranya perasaanku saat ini. Terbawa angin yang akan membawanya ke tempat baru.
💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Back On True Love
Spiritual[FINISH] --- Ketika hati jatuh untuk yang kesekian kalinya pada pemilik hati yang sama. Haruskah rasa ini ku teruskan? Seandainya saja bisa, aku akan melakukannya. Mempertahankan rasa untuknya. Namun, ada luka yang pernah kulukiskan di hatinya. Dan...