Pintu rumah sudah terbuka, sedangkan kuncinya masih ada padaku. Hari mulai gelap, rasa panik menghampiriku. Aku membawa sapu yang tersimpan di samping pintu depan rumah.
Aku masuk dengan perasaan takut. Kudengar ada suara dari arah dapur. Jantungku berdebar semakin kencang.
Kupegang sapu, bersiap untuk memukul maling yang masuk.
Aku terus berjalan, bersembunyi di balik dinding. Kulihat ada sosok lelaki di sana. Dengan mata tertutup aku berlari ke arahnya dan memukulnya menggunakan sapu.
"Aw ... hei, Nay! Apa-apaan, sih. Berhenti." Ia menahan pukulan sapu itu.
Mataku terbelalak kaget.
"Faiz? Kamu lagi apa? Dari kapan ke sini?" introgasiku.
"Kamu ini, Nay. Aku baru aja datang, terus dipukuli. Sakit tau." Faiz mengusap punggungnya yang terkena hantaman sapu milikku.
"Whoa ... Faiz! Aku kangen," ujarku seraya memberi pelukan.
Faiz adalah kakakku. Dia baru saja menyelasaikan studi magisternya.
Usiaku hanya terpaut dua tahun saja. Terkadang Mama memarahiku, karena aku sering memanggilnya Faiz, tanpa kata kakak.
"Kapan kamu datang?"
"Baru aja. Tadi pas datang, rumahnya sepi terus dikunci. Jadi, aku dobrak," ujarnya tanpa rasa bersalah.
"Faiz!" aku memekik tak percaya. "Kamu gila, ya. Gimana kalau ada yang lihat, terus nyangka kamu itu maling."
"Aku lapar, Nay."
Faiz berjalan menuju meja makan, membawa semangkuk mie instan. Aku mengikutinya.
"Aku kira tadi ada maling. Kenapa gak bilang?"
"Ya, biar surprise. Tapi, aku malah dipukul."
"Ya, maaf, sih. Aku kan gak tau," sesalku. "Ada apa ke sini? Mama sama Abah gak ikut?"
"Eemangnya aku gak boleh ketemu adik sendiri? Mama sama Abah datangnya nanti pas kamu wisuda."
"Ah, Faiz. Jadi malu," ujarku.
"Udah, ah. Aku mau makan dulu, Nay." Ia mendengus kesal.
"Iya, iya."
💞
Faiz mengambil alih remote televisi. Mengganti saluran yang menyiarkan sepak bola.
"Pacar kamu mana?" tanyanya tiba-tiba.
"Wei, apa-apaan ini. Baru datang, udah gosip aja."
"Aku gak gosip, lho. Namanya Gio, ya." Ia menaik-turunkan alisnya
"Faiz!" pekikku. "Apaan, sih."
"Nah, ketahuan kan," tunjuknya.
"Iya, iya. Kamu emang ya, dasar spy canggih."
"Hebat, bukan canggih," ujarnya membenarnya.
"Di sini cuma ada satu kamar, Iz. Kamu tidur di kursi aja, ya." Aku mencoba mengalihkan pembahasan.
"Iya dah, iya, Tuan Putri."
💞
Aku menyusuri setiap koridor kelas. Hingga langkah kaki terhenti saat lelaki itu tiba-tiba menghadangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back On True Love
Spiritualité[FINISH] --- Ketika hati jatuh untuk yang kesekian kalinya pada pemilik hati yang sama. Haruskah rasa ini ku teruskan? Seandainya saja bisa, aku akan melakukannya. Mempertahankan rasa untuknya. Namun, ada luka yang pernah kulukiskan di hatinya. Dan...