–Inaya POV–
Sesampainya di kampus, aku langsung berpamitan pada Gio untuk mencari Venus. Sudah dua hari aku tidak bertemu dengannya.
Aku berjalan menyusuri lorong kampus. Venus bilang, dia akan menungguku disini.
Aku tidak menemui Venus dimana pun. Aku berjalan kembali ke bagian depan kampus. Saat sedang berusaha mencari, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dari belakang.
"Eh, siapa ini? Apa-apan sih, lepas." Aku menarik tangannya dari mataku.
"Wei, wei, ada apa ini. Tadi kamu datang bareng siapa? Pantas aja kamu gak jemput." Ia menyilangkan kedua tangan di dadanya. Ekspresi ketika marah, katanya.
"Merajuk? Dasar." Aku berjalan meninggalkannya.
"Eh, hei. Nay, mau kemana. Kamu belum jawab pertanyaanku." Terdengar derap langkahnya mengejarku.
"Taman belakang." Aku meneruskan langkahku tanpa menoleh ke arahnya.
Seperti anak ayam, Venus terus saja membuntutiku dari belakang.
"Nay, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Tadi kamu sama siapa? Ayo, jawab aku."
Venus menggoyang-goyangkan bahuku. Aku menyumpalkan earphone ke telingaku, enggan untuk membalasnya.
Gadis itu malah mencubit punggung telapak tanganku. Meninggalkan tanda merah di atasnya. Aku meringis kesakitan.
"Ven, apa-apaan sih kamu. Sakit tau."
Tak mau kalah, aku membalas cubitannya.
"Kamu sih, gak mau ngasih tahu. Jadi, siapa dia?"
"Huh, dasar Miss Kepo. Oke, oke ... aku kasih tahu. Mari mendekatlah, dengarkan baik-baik, ya, aku takkan mengulangnya lagi."
Venus menatapku serius, ia mendekatkan pandangannya.
"Dia ... dia itu ... uhm ... dia adalah ... hm ... dia ...." aku menarik hidungnya dan melarikan diri.
"Aw, kamu memang menyebalkan. Naaaayyyy ... awas, ya."
Aku terus berlari tanpa menghiraukan Venus yang mengejarku di belakang sana. Berkali-kali dia berteriak, memintaku untuk berhenti. Namun, aku tak memenuhi permintaannya. Tiba-tiba teringat kalau Venus baru saja sembuh dari sakitnya.
"Nay, udah dong. Capek tau, lari-lari terus."
Ia terlihat jauh di belakangku, menunduk kelelahan. Aku menghampirinya, memastikan kalau dia baik-baik saja.
"Eh, maaf, Ven. Maaf ya. Nih, minum dulu deh." Aku menyodorkan sebotol minuman.
"Thanks." Ia mengambil minuman itu dari tanganku, meneguknya hingga setengah habis.
"Kamu sangat menyebalkan. Nay, ayolah cerita. Apa kamu gak anggap aku sahaba lagi, iya? Hem." Ia mendengus kesal.
"Eits, kamu bilang apa? Jangan bilang gitu, Venus. Kamu itu sahabatku, selamanya akan tetap begitu. Ya udah, ayo duduk disana, aku ceritakan semuanya."
Aku menuntun tangannya, berjalan menuju kursi yang tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Dengar baik-baik, ya."
"Iya, iya, iya." Venus menatapku dengan raut wajah serius.
"Jadi, gini Ven. Dia itu ...."
Aku menceritakan semua tentang Gio. Dari pertama bertemu sampai bisa jalan bareng dan berangkat ke kampus bareng.
"Oh, jadi gitu. Pantas aja aku merasa gak asing sama wajahnha. Ah, sahabatku ini lagi jatuh cinta rupanya," godanya mencolek daguku.
"Ish ... apaan sih. Jangan menggodaku kayak gitu, Ven."
"Benar 'kan kalau kamu suka sama dia? Ayo ngaku ayo."
"Vennnnnn." Aku mencubit lengannya.
"Aw, kamu tuh, ya. Kebiasan, ih. Aku kan cuma bercanda, Nay."
"Ya, anggap aja cubitanku tadi bercanda juga."
"Bercanda apanya kayak gitu. Sakit, tau."
"Uhm ... Ven," panggilku.
"Iya, Nay?" ia menoleh ke arahku.
"Aku rasa kamu benar. A ... aku ... uhm aku ...."
"Kamu apa, Nay?"
"Ven ... aku rasa aku ...." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Darin memanggil kami berdua.
"Itu, Darin. Ayo kita kesana," ajakku.
Aku menoleh ke arah Venus, dan menarik tangannya.
"Nay, ta ... tapi ...."
💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Back On True Love
Espiritual[FINISH] --- Ketika hati jatuh untuk yang kesekian kalinya pada pemilik hati yang sama. Haruskah rasa ini ku teruskan? Seandainya saja bisa, aku akan melakukannya. Mempertahankan rasa untuknya. Namun, ada luka yang pernah kulukiskan di hatinya. Dan...