"kriiinggg!!" bel berbunyi sesaat setelah aku menyetujui permintaan mereka. Aku berjalan kembali ke kelas, entah mengapa aku merasa masih diawasi seseorang. Kata-kata si perempuan masih terngiang di telingaku. Aku tak mengerti, mereka tampak sangat senang ketika kusetujui permintaan mereka.
'oke, kami menunggumu sepulang sekolah di pos satpam depan sekolah.' Ucap si perempuan ketika di kantin. Mereka mengacaukan semua rencanaku hari ini. Padahal aku ingin main game di rumah sendirian sepulang sekolah.
***
Sementara itu, terlihat di atas gedung seseorang tersenyum puas sambil mengamati Rio lewat teropong. Orang itu terus mengawasi Rio dari awal istirahat tanpa henti. Sesaat setelah Rio pergi, orang tersebut kembali masuk ke gedumg sekolah. Wajahnya ditutupi topi, tak jelas laki-laki atau perempuan.
***
Jam di kelas menunjukkan pukul 13.30 siang, waktunya pulang. Aku berjalan ke luar sekolah dengan langkah cepat. Aku ingin segera pulang ke rumah untuk tidur. Entah mengapa, hari ini aku merasa sangat berat untuk beraktivitas. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kulewatkan.
Kulihat 3 orang murid sedang menungguku di dekat pos satpam. Sekarang aku ingat, kenapa aku merasa ada sesuatu yang terlewatkan. Aku menyesal dalam hati, mengapa aku menyetujui permintaan mereka. Argh! Sial sekali aku hari ini. Tampaknya 3 orang tersebut sudah menunggu kedatanganku. seharusnya aku berjalan lebih cepat tadi, batinku dalam hati.
Sang reporter telah siap dengan kameranya, entah apa yang ingin dia lakukan. Padahal tujuan kami hanya menjenguk, tapi dia terlihat seperti ingin mengejar berita. Murid yang bernama Aria juga terlihat lebih rapi dari sebelumnya. Rambutnya dibasahi dan disisir rapi, seolah ingin menemui orang yang berarti bagi hidupnya. Si perempuan terlihat biasa saja, tak ada perubahan. Hanya saja, dia terlihat sangat senang ketika aku datang.
Aku berjalan menuju tempat mereka berdiri. Aku berharap mereka segera menyelesaikan urusan mereka, lalu aku bisa pulang untuk istirahat dan tidur. Mereka tampak menunggu sesuatu, entah apa itu. Aku berharap seseorang membuka pembicaraan agar hal ini segera selesai. Tapi karena tak ada yang mau angkat bicara, terpaksa aku yang memulai pembicaraan.
"ada orang lain yang diajak?"
"tidak ada." si perempuan menggeleng. "Yah, karena sudah lengkap kita berangkat sekarang. kamu yang tunjukkan jalannya, oke?" ucap si perempuan sambil menunjuk diriku.
"kenapa aku? Aku bahkan tak tahu dimana rumahnya." jawabku sambil menggeser tangan si perempuan yang menunjuk kearahku. Entah mengapa mereka terlihat sangat kaget setelah mendengar perkataanku. Aku hanya bisa mengerutkan dahi karena kebingungan.
"kamu ga tahu rumahnya? Oh berita bagus! Sang Silent Monster tak tahu rumah Ria artis sekolah kita. Padahal mereka pulang naik angkot yang sama tiap hari. Pasti akan jadi berita besar ini." ucap sang reporter sembari mengutak-atik kameranya.
"kami mengajakmu ikut karena kami kira kamu tahu di mana rumah Ria. Tapi ternyata kamu tak tahu, tak bisa diharapkan. Kenapa kamu sangat cuek dengan sekitarmu? Pantas saja kalau tak ada yang ingin berteman denganmu." murid yang bernama Aria itu menimpali.
"hey, Rio! Apa kamu benar-benar tak tahu?" tanya si Perempuan
"angkot yang kunaiki memang satu jurusan dengannya, tapi aku tidak tahu di mana rumahnya. Lagipula, kenapa kalian tak menelponnya saja?" aku balik bertanya.
"sudah kutelpon berkali-kali dari kemarin, tapi hp-nya selalu mati. Barusan aku juga menelponnya, tapi hp-nya juga masih mati." jelas Rini.
"apa kalian tak pernah pergi ke rumahnya?" tanyaku lagi.
"tidak, Ria tak pernah mau mengajak kami ke rumahnya dan dia tak pernah mau kami berkunjung ke rumahnya." jawab murid yang bernama Aria.
Suasana menjadi sunyi, tak ada yang berbicara. Sampai sang reporter bertanya "apa kamu benar-benar tidak tahu dimana rumahnya?"
"ya, aku benar-benar tak tahu di mana rumahnya. Yang kutahu hanya tempat dia biasa turun." Ujarku menjelaskan.
"kenapa ga bilang dari tadi!" sahut mereka serempak. Aku hanya nyengir mendengarnya.
"oke kalu gitu, kita berangkat!" ucap si Perempuan. "oh, hampir lupa. Rini, Lina Hartini." si perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku.
"Rio, Rio Pamungkas." jawabku sambil menjabat tangannya.
"Dani, Dani Febriyanto." kali ini sang reporter yang mengulurkan tangannya. Belum sempat aku menjabatnya, murid yang bernama Aria itu mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan diri. "Aria, Aria Setiawan."
"Rio, Rio Pamungkas." balasku sambil menjabat tangan keduanya secara bergantian.
"oke, waktunya berangkat!" ucap si perempuan, eh maksudku, Rini. Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat tersebut.
***
Tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di tempat di mana Ria biasa turun. Setelah membayar supir angkot kami mulai berjalan menyusuri jalan. Di pinggir jalan terdapat sebuah toko cukup besar. Di dalamnya terlihat beraneka macam jajanan, mulai dari yang murah sampai yang mahal.
"aku mau beli sesuatu dulu untuk Ria nanti." Rini berlari menuju toko tersebut.
Setelah Rini kembali, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tentu saja tidak mudah, kami bertanya setiap orang yang kami temui di jalan tentang Ria. Tetapi hasilnya nihil, tak ada orang yang pernah melihat Ria walau Rini sudah menunjukkan foto Ria dari hp-nya. Beberapa orang ada yang pernah maelihatnya, tapi mereka tak tahu dimana rumahnya.
Setengah jam berlalu, tapi pencarian kami masih tak menemui jalan terang. Keringat membasahi wajah kami, panas matahari tak memberi belas kasihan. Kami mulai putus asa, hanya Rini yang terlihat masih bersemangat menanyai orang yang lewat. Hingga akhirnya, kami berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar dan mewah. Terlihat air mancur di halaman depan rumah tersebut, tak terlalu besar tapi cukup menandakan bahwa pemiliknya adalah orang kaya.
Sayangnya, tujuan kami bukan rumah tersebut. Tujuan kami adalah warteg di seberang rumah terseut. Kami hampir pingsan karena lapar dan haus. Mata kami berbinar begitu melihat tulisan 'WARTEG BAHARI'. Tanpa ragu, kami langsung masuk dan memesan beberapa makanan. Kami makan di warteg tersebut sampai kenyang. Selesai makan kami tak langsung pergi, ngapain? bayar makanan.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 siang. Tapi kami masih belum menemukan rumah Ria. Sudah cukup banyak orang yang kami tanya, tapi tak membuahkan hasil sedikit pun. Kami sudah berjalan cukup jauh dari tempat awal kami berada.
"kita pulang aja yuk, lanjutin besok lagi." Dani yang dari tadi memegang kamera tampak kelelahan.
"iya, kita pulang aja, besok ke sini lagi. Siapa tahu besok Ria udah masuk." tambah Aria.
"oke deh, orang itu yang terakhir." Rini menunjuk seorang bapak tua yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya. Rini terlihat tidak sesemangat sebelumnya.
"pak, bapak kenal orang ini?" tanya Rini sambil menunjukkan foto yang ada di hp-nya
"ha? Mana? Coba sini kulihat." jawab bapak tersebut sambil meminta hp Rini. Rini pun memberikan hp-nya untuk di lihat bapak tersebut. sejenak dia tak percaya melihat foto tersebut. Dikeluarkannya kacamata dari dalam kantongnya untuk melihat lebih jelas. Lama dia memandangi hp tersebut. Kami tak berani bertanya, mungkin bapak tersebut mengingat sesuatu.
"dasar anak muda jaman sekarang! Ini hp! Bukan orang! Hp kok dianggap orang. Anak muda jaman sekarang emang udah pada gila semua." Kata bapak itu seraya mengembalikan hp Rini dan pergi meninggalkan kami di luar rumahnya. Kata-kata bapak tersebuat telah menghapus harapan terakhir kami. Rini terlihat lemas setelah mendengar kata-kata bapak tersebut, sepertinya dia sangat khawatir pada Ria.
Kami kembali dengan keadaan tak bersemangat. Usaha kami hari ini sia-sia, kami tak mendapatkan apapun kecuali rasa lelah. Langkah kami gontai, kami tak tahu apa yang harus kami lakukan. Di tengah jalan kami bertemu seorang ibu kos-kosan. Kami sudah putus asa, tapi Rini masih sempat bertanya.
"ibu kenal orang ini?" tanya Rini sambil memperlihatkan foto yang ada di hp-nya.
"Oh, si Ria?" si ibu balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Monster
Misteri / ThrillerKisah yang terinspirasi dari kehidupan keseharian saya ini, mengisahkan kehidupan seorang anak sma yang dijuluki Silent Monster. Mengapa? Karena dia sangat cerdas dan tak pernah berinteraksi dengan murid lain di sekolah itu. Tapi kemudian kehidupann...