Monas

64 1 0
                                    

"Itu tak masalah," ujar seseorang sambil menepuk pundak Aria. Lagi-lagi orang itu. Aria terlihat cukup terkejut, begitu juga dengan Rini dan Dani. Orang itu tak lain adalah pak Harto, wakil kepala sekolah. Pak Harto kembali berujar, "Jika kalian mau, bisa saja saya memberi izin khusus untuk hari ini. Kendaraannya, bisa pakai mobil saya."

Aria terlihat bimbang menghadapi tawaran pak Harto barusan. Dia melirik ke arah kami bertiga secara bergantian. Rini mengangguk pelan menandakan persetujuan, Dani menggerakkan kepalanya ke atas sambil melirik ke arahku menandakan bahwa jawabannya sama denganku. Sedangkan aku, aku hanya menghela nafas sambil tersenyum malas. Senyum mengembang di mulut pak Harto kala melihat ekspresi kami bertiga.

"Jadi kalian mau atau tidak?" tanya pak Harto lagi. Aria menganggukkan kepalanya ragu-ragu. "Oh baguslah kalau begitu. Habis istirahat ini, kalian bisa langsung pergi. Saya yang akan mengurus perizinan kalian."

"Terima kasih banyak pak." Aria tersenyum lebar. Terlihat ada rasa senang yang mendalam ketika dia mengucapkannya. Kurasa dia sudah sangat merindukan Ria.

"Yaudah kalo gitu, saya pergi dulu." Dalam sekejap pak Harto sudah menghilang dari pandangan. Sungguh kejadian yang tak disangka-sangka.

***

Aku sudah siap dengan tas di punggungku. Menurutku ke Monas bukanlah ide buruk, hitung-hitung jalan-jalan sebelum UN. Walaupun sebenarya tujuan kami bukan untuk jalan-jalan. Tujuan kami adalah mencari tempat persembunyian penculik yang menculik Ria.

Kami berempat sudah siap menunggu mobil pak Harto di dekat gerbang. Lisa tidak ikut karena tak diperbolehkan oleh ayahnya. Jadi hanya kami berempat yang pergi.

"Semua sudah siap?" tanya seseorang yang baru saja sampai dengan mobilnya di hadapan kami. Ya, orang tersebut adalah pak Ari, supir pribadi pak Harto. Ia segera membuka pintu mobil sembari mempersilahkan kami naik.

Tak lama kemudian, kami semua sudah duduk anteng di dalam mobil. Kali ini dengan susunan yang berbeda dari kemarin. Depan: Pak Ari-Rini, Belakang: Aku-Dani-Aria. Motor Aria ditinggal di sekolah dengan alasan menghormati tawaran pak Harto.

Perjalanan kali ini cukup ramai, tak seperti kemarin. Mungkin karena adanya Aria yang membuka pintu pembicaraan.

"Analisamu kemaren hebat juga, Rio. Kamu bahkan bisa melengkapi analisaku yang serba kurang." Aria memujiku sekaligus merendah. Jujur saja, aku tak terlalu suka dipuji seperti itu.

"Tidak juga. Itu bukan kasus yang sulit kok, jadi wajar saja jika aku bisa menyelesaikannya." Aku membalas perkataannya.

"Apa ada kasus sebelum itu yang pernah kau selesaikan?" tanya Aria.

"Kalau kasus sih, banyak. Tapi kalau yang kuselesaikan, baru kasus yang kemarin. Tapi bukankah kamu lebih hebat, kamu punya rasa percaya diri yang tinggi. Aku saja masih agak ragu ketika tahu pelakunya." Aku melirik ke Aria.

"Aku sudah sering menemui kasus karena ayahku seorang detektif polisi. Jadi wajar saja jika aku tidak ragu lagi dalam mengatakannya." Aria tersenyum kecil. Aku agak kaget mendengar perkataannya barusan. Aria melanjutkan kata-katanya, "aku ingin menjadi sepertinya."

"Kamu tahu detektif Rendi? Itu ayahnya Aria lho. Dia sering dimuat di koran." ujar seseorang di bangku depan, ya itu Rini.

"Tapi meskipun begitu, ada orang di kepolisian yang lebih hebat dari ayahku." Aria menambahkan kembali. Dia mengatur tempat duduknya yang mulai tak nyaman. "dia adalah senior ayahku, dia sangat hebat dalam memecahkan kasus. Apalagi dia adalah salah satu anggota PKM. Ayahku sering menceritakan tentang dirinya."

The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang