Bu Anita

88 3 1
                                    

Entah mengapa kami merasa langsung bersemangat setelah mendengar kata-kata ibu tersebut. Dani segera menyalakan kameranya yang sudah ditutupnya. Sepertinya dia merekam perjalanan kami, tapi entah mengapa batrei-nya seperti tak habis-habis. Rini yang sedari tadi masih memegang hp, bertanya kembali.

"ibu tau dimana rumahnya?"

"ya, dia nge-kos di tempat saya. Ada perlu apa?" tanya si ibu.

"kami teman sekelasnya, kami ingin menjenguknya." kali ini Aria yang angkat bicara.

"kos-kosan saya sih, di sebelah sana." si ibu menunjuk sebuah rumah yang sederhana di ujung jalan. "tapi, sepertinya Ria-nya lagi ga ada di rumah."

"ibu tau dia pergi ke mana?" tanya Rini.

"saya ga tahu, tapi terakhir saya melihatnya hari jum'at. Malam-malam dia bilang ingin keluar membeli sesuatu." jelas si ibu.

"apa dia tak ada di kamarnya?" tanya aria setengah tak percaya.

"saya sudah mengetok kamarnya berkali-kali, tapi tak ada jawaban."

"oh begitu ya, makasih bu infonya. Kami pergi dulu." Rini langsung pergi mendahului kami setelah mengatakannya. Kami tak megerti mengapa dia langsung pergi begitu saja setelah mendengar informasi yang masih belum sempurna itu. Kami pun pergi mengikutinya meninggalkan si ibu sendiri. Tampaknya si ibu juga kebingungan dengan sikap Rini.

"hey Rini! Ada apa?" tanya Aria setengah teriak. Sepertinya dari tadi hanya dua orang itu saja yang membuka mulut.

"coba kamu pikir baik-baik! Ria pergi dari kos-kosannya malam-malam setelah berpamitan dengan ibu itu. Lalu tak kembali sampai 3 hari. Apa itu tidak aneh?" ucap Rini sambil terus berjalan.

"lalu kamu mau kemana sekarang?" Aria bertanya balik.

"ke sekolah. Aku akan beritahu ini ke bu Anita." Rini semakin mempercepat jalannya. Bu Anita adalah guru yang terkenal baik di kalangan para murid. Banyak murid yang sering menceritakan masalah yang mereka alami kepadanya.

"mungkin dia pergi ke tempat orangtuanya." aku menebak asal.

"lalu kenapa dia tak menjawab teleponku?" tanya Rini dengan kesal.

"mungkin di perjalanan dia tertabrak dan teleponnya rusak." tebakku lagi.

"seharusnya dia masih bisa menggunakan telepon umum!" bantah Rini.

"mungkin dia tertabrak dan terluka cukup parah, kemudian ketika perjalanan ke rumah sakit dia meninggal duluan." aku semakin semangat menebak.

Semuanya terdiam, mereka menatapku tajam. Wajah mereka tampak kesal sekaligus khawatir. Khawatir apa yang kukatakan benar-benar terjadi. Sepertinya aku telah melakukan sebuah kesalahan besar.

"sudahlah, itu tidak mungkin! Kalau dia meninggal di perjalanan, pihak rumah sakit akan menghubungi sekolah sekitar, karena dia masih remaja." jelasku membantah perkataanku sendiri. "mungkin dia membuang hp-nya kemudian pergi ke tempat yang jauh untuk bunuh diri." Aku kembali menebak.

"kamu ngajak ribut, ha?" Aria mengepalkan tangannya ke arahku. Wajahnya tampak sangat marah. Sepertinya dia tak menyukaiku.

"itu tak mungkin! Ria tak punya alasan untuk bunuh diri. Aku kenal dekat dengannya." Ucap Rini sambil menurunkan kepalan tangan Aria. "sudahlah, ayo ke sekolah. Siapa tahu bu Anita masih belum pulang." Ucapnya lagi.

Kami berempat kembali ke sekolah untuk menemui bu Anita. Sekolah sudah sepi, hanya ada 2 orang satpam yang masih berjaga di gerbang sekolah. Kami segera pergi ke ruang guru untuk menemui bu Anita. Tapi di ruang guru, hanya ada beberapa guru kelas 10. Mereka mengatakan bahwa bu Anita sudah pulang siang tadi.

Aku senang bu Anita sudah pulang, karena aku akan bisa pulang lebih cepat. Namun sepertinya Rini masih bersikukuh untuk menemui bu Anita. Rini mengajak kami untuk berkunjung ke rumah bu Anita. Entah apa yang ia pikirkan, tapi Aria dan Dani menolak ajakannya.

"Rini, lebih baik kita pulang saja." ajak Aria.

"betul itu, lagipula masih ada hari esok." tambah Dani.

"kalau begitu kalian pulang saja, aku akan tetap pergi ke rumah bu Anita." Rini tetap teguh pada pendiriannya.

"apa tak masalah kamu sendirian?" tanya Dani.

"aku tak sendirian." jawab Rini sambil melirik ke arahku.

"oh baguslah kalau begitu, kami titip Rini dulu ya. Sampai jumpa." Ucap Aria sambil menepuk pundakku.

"kami pulang dulu, jaga dirimu baik-baik." tambah Dani.

Aku hanya terbengong melihat mereka berlalu. Rencanaku untuk pulang, gagal total. Aku menoleh kearah Rini dengan menunjukkan wajah kebingungan. Tapi, Rini hanya tersenyum polos melihat ekspresiku. Sial, seharusnya aku tak ikut sejak awal, batinku.

"bolehkah aku ikut pulang?" aku berharap dia mau mengasihaniku.

"ti-dak bo-leh!" jawabnya. "jangan coba-coba untuk kabur. Karena jka kau kabur, aku tak akan memaafkanmu sampai mati!"

Terpaksa aku mengkuti kehendaknya. Aku tak mengerti mengapa dia begitu bersikeras pada kemauannya.

***

"selamat datang!" seru bu Anita begitu mengetahui yang datang bertamu adalah muridnya. "silahkan masuk dulu. Saya buatkan minuman dulu."

"oh, ga usah repot-repot bu," ucap Rini.

"wuiih! Pake jimat apa kamu Rin?" tanya bu Anita spontan ketika melhatku. "jadi ini, murid yang dijuluki Silent Monster itu?" bu Anita seolah tak percaya kalau aku ikut datang bersama Rini.

"gampang kok bu, namanya juga laki-laki." Jawab Rini enteng.

Selanjutnya yang ada hanyalah perbincangan yang membosankan. Aku tak ingin mendengarnya, jadi aku menunggu mereka di luar. Cukup lama aku menunggu, entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya, Rini tak langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Setengah jam kemudian, kulihat Rini keluar dari rumah sambil berpamitan dengan bu Anita.

Waktu telah menunjukkan pukul 17.00 petang. Matahari sudah condong ke barat, menandakan malam akan segera tiba. Sepanjang perjalanan pulang aku tak mengatakan satu kata pun. Begitu juga dengan Rini, kuyakin tenaganya sudah terkuras habis sehari ini. Hari yang melelahkan. Tapi entah mengapa aku merasa setelah hari ini, hidupku akan banyak berubah.

"rumahmu ke arah sana kan?" tanyanya pelan. Aku hanya mengangguk sambil menghela nafas. "kalau begitu, kita berpisah di sini. Rumahku ke arah sana. Oh ya, boleh pinjam hp-mu sebentar?" tanyanya.

Kupinjamkan hp-ku padanya, setelah kubukakan kuncinya. Kulihat dia mengetikkan beberapa nomor di hp-ku. Tak lama setelah itu, dia mengembalikannya padaku. Tampak 12 digit nomor menghiasi layar hp-ku. Aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

"itu nomor hp-ku. Tambahkan ke kontakmu, jangan dihapus ya." jelasnya sambil meninggalkanku sendiri. Kutambahkan nomor tersebut ke kontakku sesuai permintaan Rini. Setelah itu aku pulang menuju rumahku.

***

Sesampainya di rumah, kulihat ayah sedang konsetrasi di depan layar laptopnya. Aku tak ingin melihat apa yang dia kerjakan. Tangan kanannya tak pernah berhenti menggerakkan mouse sambil terus mengkliknya dengan jari tengah. Tangan kirinya terlihat siaga di bagian kiri keyboard. Sesekali dia terlihat heboh, sampai suara keyboard-nya terdengar keras.

"Rio, bikin teh untuk bapakmu, cepetan!" perintah ayahku sesaat setelah terdengar bunyi 'Dire victory' dari laptopnya. Aku hanya menurut apa yang ia suruh. Seusai membuat teh untuk ayahku, aku mandi untuk menyegarkan tubuh.

Kubaringkan tubuhku di atas kasur yang empuk. Aku kembali teringat masa kecilku yang begitu menyenangkan. Saat SD, aku adalah murid yang hyperaktif dan memiliki banyak teman. Senang sekali rasanya punya banyak teman. Aku menjadi pendiam semenjak aku SMP. Kemudian ketika SMA, aku semakin menjadi seorang pendiam yang menutup diri dari dun ia luar. Sepertinya hari ini aku merasakannya kembali, indahnya pertemanan.

The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang