Pohon Beringin

71 2 1
                                    

"halo?" aku menjawab panggilan tersebut.

"kamu ga berankat, aku udah di sekolah lho!" ucap seseorang dari ujung telepon.

"terus kenapa?"

"sekolah rame banget lho! Kaya ada festival gitu."

"ha?" tanyaku tak mengerti.

"yaudah ya, nanti lagi."

Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan. Ya, dia adalah Rini. Entah darimana dia dapat nomorku, Mungkin Dani yang memberinya nomor hp ku.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 sore. Waktu terasa cepat sekali, padahal aku hanya ngobrol sebentar sama ayah. Aku segera bangkit dan pergi menuju kamar mandi. Kebetulan, ayahku sudah selesai mandi. Aku masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badan.

Beberapa saat kemudian, aku sudah bersiap dengan kaos lengan panjang berwarna merahku dan celana panjang warna hitam yang tak terlalu mencolok. Sebuah topi sudah terpasang di kepalaku. Setelah siap, aku segera pergi ke sekolah dengan semangat.

***

Sekolah tampak sangat ramai ketika aku datang. Seperti kata Rini, seperti ada sebuah festival yang sedang berlangsung. Aku tak menyangka, murid bernama Ria itu sangat terkenal di sekolahku. Ketika aku melewati gerbang sekolah, para reporter sekolah datang mengerubungiku. Sepertiya, berita tentang pesan tersebut sudah tersebar ke seluruh sekolah.

Aku segera menurunkan topiku agar mukaku tak kelihatan. Untungnya aku memakai topi, kalau tidak, mungkin wajahku akan terpajang di koran sekolah besok. Aku menerobos gerombolan reporter yang mengerubungiku. Sekilas kulihat koran sekolah yang tertempel di mading sekolah, terpampang wajah Ria di halamn utama. Sepertinya dia benar-benar artis sekolah.

Kulihat seorang murid perempuan datang menghampiriku. Sepertinya dia satu angkatan denganku, hanya saja dia berada di kelas yang berbeda. Aku menghentikan langkahku sejenak. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu padaku.

"Rio, maukah kamu mampir ke rumahku malam ini?" tanyanya. Mukanya memerah tanda malu.

"maaf, aku tidak bisa." aku menjawab ketus sambil berlalu. Tak kusangka ada orang seperti itu.

Kali ini, Melia, ketua club memanah yang memanggilku. Aku tetap berjalan seolah tak mengenalnya ketika ia memanggilku. Tentu saja hal itu membuatnya kesal, dia pun segera berlari ke arahku. Tangannya membawa sebuah busur yang biasa dipakai latihan.

"ayo ikut aku! Aku udah nyiapin tempat khusus buatmu biar bisa manah pas si penculik dateng." ajaknya sambil menyodorkan busur tersebut.

"ga usah, terima kasih. Aku punya rencana sendiri." ujarku sambil pergi meninggalkannya. Padahal sebenarnya aku tak punya rencana apapun.

"hey, aku udah susah-susah nyiapin, kok kamu malah ga mau." Melia berlari mnegejarku.

"kan aku udah bilang, aku ada rencana sendiri. Jadi terima kasih atas kebaikanmu." ucapku santai sambil tetap berjalan. Melia terlihat kesal mendengarnya.

Aku terus berjalan menuju kebun sekolah untuk melihat keadaan. Aku terkejut ketika melihat pohon Beringin di kebun sekolah. Banyak para murid lelaki dengan berbagai macam senjata di tangan mereka mengerubungi pohon tersebut. Mereka seperti akan berangkat tawuran. Kulihat Aria berada di tengah-tengah gerombolan itu. Sepertinya, dia yang menjadi pusat komando gerombolan tersebut. Aku hanya menghela nafas panjang.

The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang