Seorang Ayah

77 2 1
                                    

"itu kode." sahut ayahku sambil tetap tak beranjak dari tempatnya. Aku hanya mengerutkan dahi tanda tak mengeti. Ayahku segera berjalan ke arahku lalu meminta kertas yang sedang kupegang.

"lihatlah! Mengapa dia melakukan penekanan pada kata 'BERDUA'? lalu mengapa dia menuliskan waktu pertemuannya dengan kalimat 'nanti malam ketika 2 jarum jam Big Ben bertemu dan mengarah ke langit'? padahal dia menuliskan tempat pertemuannya dengan 'di bawah pohon Beringin di sekolah'. Apa itu tdak aneh?" tanya ayahku.

"maksudnya?" tanyaku balik. Aku kurang paham dengan kata-kata ayahku barusan.

"ok gini, kenapa si penulis pesan, menuliskan waktu pertemuan dengan kalimat yang sulit dimengerti? Padahal dia bisa saja menuliskan 'nanti malam jam 7'. Setelah itu, dia menulis tempat pertemuan dengan kalimat yang mudah dimengerti. Padahal dia bisa saja menulis 'di bawah pohon dengan akar gantung di sekolah'" jelas ayahku.

"mungkin dia kehabisan ide." ujarku santai.

"tidak Rio! Kenapa kamu bodoh sekali sih. Alasan yang masuk akal adalah karena kalimat 'di bawah pohon Beringin di sekolah' adalah kode, sama seperti kalimat sebelumnya." ayahku mengembalikan kertas tersebut kepadaku.

"jadi, ayah mau bilang kalau ini juga kode. Begitukan?" tanyaku.

"ya, lagipula mengapa dia menulisnya di tempat umum yang bisa dilihat semua orang? Padahal dia menekankan kata 'BERDUA'. Dia pasti tahu kalau pesannya akan bisa dibaca semua orang." ayahku terlihat sedang berpikir keras.

"tunggu dulu, kenapa ayah bisa tahu kalau ini pesan ditulis di tempat umum? Padahal aku belum cerita apapun pada ayah. Lagipula, mengapa ayah bisa tahu kalau ini adalah kode? Padahal ayah belum melihat isi kertas yang kupegang. Jangan-jangan, ayah adalah dalang dari semua ini." aku menatap ayahku dengan pandangan waspada.

"jangan bercanda! Kamu keluar dari kamarmu sambil terus melihat ke arah kertas tersebut. Tentu saja bapakmu sangat heran melihatnya. Kenapa? Karena bapakmu tahu kamu tak akan tertarik dengan surat biasa. Jadi, bapakmu berpikir kalau itu bukan surat biasa. Apalagi setelah melihat ekspresi berpikirmu di ruang tamu. Mungkin itu sebuah hal yang membutuhkan pemikiran. Jadi bapakmu menyimpulkan kalau itu adalah kode." jelas ayahku.

"terus, ayah tau darimana kalau pesan itu ditulis di tempat umum?" tanyaku lagi.

"mudah saja, awalnya bapakmu berpikir kalau kamu yang membuat surat ini, karena kamu yang menulisnya. Tentu saja bapakmu ini bisa membedakan tulisan anaknya dengan yang lain. Tapi, ternyata di atas surat ada tulisan 'Untuk : Silent Monster'. Jadi bapakmu tahu kalau ini, surat yang di tujukan untukmu. Tapi jika ditujukan untukmu, mengapa tertulis dengan tulisanmu? Jadi mungkin ini adalah pesan yang ditulis di tempat lain, lalu kamu menyalinnya di kertas ini. Lalu diawal surat ada tulisan 'Untuk : Silent Monster' dan 'Dari : Sang Misteri'. Jadi bapakmu menyimpulkan kalau surat ini, ditulis ditempat umum. Kok bisa? Karena jika tertulis di tempat yang cuma kamu yang bisa melihatnya, maka si penulis takkan menggunakan 2 kalimat tadi. Dia akan langsung menulis 'Ria ada padaku' dan seterusnya." ayahku menjelaskan panjang lebar. Aku hanya mangut-mangut mendengarnya.

"tunggu, darimana ayah tahu kalau Silent Monster itu julukanku?" tanyaku dengan tatapan tajam.

"jadi, kamu kira bapakmu ini, tidak tahu perkembangan anaknya. Begitu?" ayahku kembali ke meja kerjanya. "jangan kira bapakmu ini, tidak tahu apa-apa. Bapakmu ini, bukan orang bodoh."

"maksudnya?" aku semakin tak mengerti apa maksud perkataan ayah.

"bapak tahu kalau kamu kemarin, hari senin, pulang terlambat karena mencari rumah temenmu. Kamu sebenarnya tak mau ikut, tapi ada yang memaksamu. Kemudian hari selasa kemarin, kamu pergi ke sekolah saat sore. Entah apa yang kamu lakukan, yang pasti melelahkan. Lalu tadi di sekolah kamu tidak tidur saat pelajaran dan kamu juga tdak pergi ke kantin seperti biasa." Ayahku kembali fokus pada laptopnya.

The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang