Braille

66 1 0
                                    

"Bukankah itu terlihat seperti huruf Braille?" tanya seseorang dari belakang. Itu suara pak Ari, entah apa yang membuatnya untuk mengucapkan kata-kata tersebut.

"Maksudnya?" tanya Aria keheranan.

"Kalau diamati baik-baik, itu terlihat seperti huruf Braille yang dipotong menjadi dua bagian. Mungkin dua kertas tersebut berhubungan." Pak Ari menunjuk dua kertas tersebut.

"Memangnya huruf Braille itu seperti apa?" tanya Aria lagi.

"Coba aja cari di internet." Pak Ari meninggalkan kami dengan santai.

"Coba googling gih. Aku lagi ga ada kuota." Aria memerintahkan layaknya seorang bos.

"Sekarang udah malem. Kalian ga pulang kah? Besok aja di sekolah kita omongin lagi." Aku memprotes kemauan Aria. Semua orang menatapku tajam.

"Ya, sebaiknya kalain pulang dulu. Orangtua kalian pasti khawatir karena kalian belum pulang." Pak Harto membantuku.

Alhasil, kami semua pulang ke rumah masing-masing setelah berpamitan pada pak Harto dan keluarganya. Yah, walaupun sebenarnya aku juga masih penasaran dengan huruf Braille. Tapi, aku sudah cukup lelah hari ini.

***

Sampai di rumah, tak ada seorang pun yang menyambutku. Sepertinya ayah sedang pergi keluar. Sebuah kertas berisi pesan dari ayahku tergeletak di atas meja makan. Aku segera tidur setelah membaca pesan tersebut.

Rio, ayah minta maaf. Ayah sedang ada pekerjaan sampai besok. Mungkin besok, ayah baru pulang siang hari. Jadi kamu beli makan di warung untuk sarapan. Uangnya ada sama kertas ini. Jaga diri baik-baik ya.

Sepertinya besok hari aku harus membeli nasi uduk atau apa untuk dimakan. Tak biasanya ayah ada pekerjaan sampai pagi. Yah aku juga tak peduli dengan pekerjaan ayah.

***

Pagi hari yang cerah di hari Jumat. Ayah tak ada di rumah karena pekerjaan. Jadi aku harus membeli makanan di warung untuk sarapan. Aku bukan tipe orang yang selalu bergantung pada orangtua. Aku bisa hidup mandiri dan menyelesaikan masalahku sendiri.

Aku segera pergi ke warung nasi uduk setelah mandi. Setelah membeli nasi uduk, aku kembali pulang. Aku lebih suka makan di rumah sendiri daripada makan di warung. Selesai makan, aku segera bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

Naik angkot ke sekolah adalah hal yang biasa bagiku. Bukan karena ayahku tak bisa mengantar, tapi karena aku tak mau diantar. Sebenarnya bisa saja aku meminta ayah membelikanku sebuah motor, tapi tidak kulakukan. Bukan karena takut ayahku tak punya uang untuk membelinya, tapi karena aku tak terlalu suka memakainya.

Sesampainya di sekolah, tepatnya di kelas, Dani memanggilku. Aku segera menuju tempatnya. Dia menunjukkan sebuah gambar mengenai huruf Braille. Aku segera mangut-mangut melihat gambar tersebut. Aku segera mengeluarkan dua kertas kemarin dari tasku.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang