Asal Usul

72 3 2
                                    

Pagi-pagi aku sudah berangkat ke sekolah. Tadi malam tidurku sangat nyenyak, mungkin karena kemarin aktivitasku terlalu padat. Entah mengapa, hari ini aku merasa bersemangat untuk pergi ke sekolah. Udara pagi begitu sejuk, banyak genangan air di jalan menuju sekolah. Semalam memang turun hujan walau tak begitu deras.

Sekolah masih tak terlalu ramai ketika aku datang. Tak biasanya aku datang sangat pagi seperti hari ini. Aku berjalan santai menuju kelasku yang berada di lantai tiga gedung sekolah. Kulihat ada tiga orang di kelas tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tujuanku datang ke sekolah lebih pagi tidak lain adalah karena Piket.

Tak lama setelah itu, bel tanda masuk jam pertama dimulai. Seperti biasa, rasa bosan menyelimutiku sesaat setelah pelajaran dimulai. Hoaaah, sudah tiga kali aku menguap semenjak pelajaran dimulai. Kulihat bangku sebelahku masih tetap kosong, sama seperti kemarin. Aku sudah tak kuat menahan rasa kantuk yang menyerang. Beberapa menit setelah itu, aku sudah terlelap dalam tidurku.

Aku terbangun, karena mendengar bel istirahat berbunyi. Aku sedikit terkejut, ketika melihat Dani sudah berdiri di depan mejaku. Tangannya memegang kamera yang sepertinya sedang menyala. Tampaknya, dia merekamku ketika tidur sampai aku bangun. Untung saja aku tidak ngiler di meja.

“mau ke kantin?” tanyanya begitu aku terbangun. Aku hanya mengangguk sembari meninggalkannya menuju kantin.

Sama seperti kemarin aku kembali memesan Batagor, makanan favoritku di sekolah. Kucari meja kosong untuk menikmati batagorku. Kulihat sebuah meja kosong di ujung kantin, aku pun segera menempatinya. Kulihat di pintu kantin seorang murid yang wajahnya kukenal, Dani. Seperti dugaanku, dia memesan sepiring makanan dan duduk di sampingku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.

“kenapa kamu selalu sendirian?” tanyanya tiba-tba. Aku hanya terdiam sambil melanjutkan makanku. Melihatku hanya terdiam, ia kembali bertanya, “apa kau menyukai julukan tersebut, The Silent Monster?”

“apa untungnya bagimu jka kujawab?” aku balik bertanya.

“aku berharap kau menuyukainya, karena aku yang memberimu julukan tersebut.” jawabnya sambil menelan makanan. Aku tak mengerti apa yang ia katakan.

“kau tak ingat? Kita pernah sekelas dulu, saat kelas 10.” tanyanya lagi. Aku hanya terdiam mengingat masa-masa kelas 10 dulu.

“dulu, aku sangat mengagumimu. Bagaimana tidak? Kau tak pernah berbicara sedikit pun. Aku bermimpi suatu hari nanti, aku bisa mengungkap semua fakta tentangmu dan menulisnya di koran sekolah. Semakin lama aku mengamatimu, aku semakin takjub. Aku menyebutmu denagn sebutan, The Silent Man. Tetapi setelah kau mendapat nilai sempurna saat ujian, aku menjadi tahu kalau kau bukan sekedar murid biasa. Kau seorang monster yang diam menunggu mangsa, dan semenjak itu pula aku menyebutmu dengan The Silent Monster. Tapi sebutan itu hanya berlaku bagi diriku sendiri.” Dani bercerita panjang lebar.

“lalu, aku menulis tentangmu di koran sekolah. Walaupun hanya dimuat di pojok, aku sudah merasa senang. Apa kau tahu judul yang kuberitakan untuk berita tentangmu?” Dani bertanya padaku. Aku hanya menggeleng tanda tak mengerti.

“judulnya adalah, ‘Rio Pamungkas, The Silent Monster’” Dani mengatakannya dengan bangga. “sejak saat itu aku terus mencari berita tentangmu, tapi usahaku terhenti saat kelas 11. Karena saat itu, aku tak sekelas lagi denganmu. Semenjak itu, aku sadar kau bukanlah segalanya bagiku. Apa kau tahu kelanjutannya?” tanya Dani. Aku hanya menggelengkan kepala.

“aku melupakanmu! Meski saat itu, kau semakin terkenal dengan julukan yang kuberikan itu. Aku tak ingin mengingatmu lagi, hingga saat kenaikan kelas 12. Aku tak menyangka aku sekelas denganmu lagi. Aku berusaha mendekatimu dengan cara berteman dengan orang yang duduk di sebelahmu. Tapi aku terkejut, setelah aku mengetahui bahwa murid yang duduk di sebelahmu adalah Ria, artis sekolah ini. Lalu, terlintas pertanyaan di pikiranku. Mengapa seorang Ria memilih tempat duduk di sebelahmu? Aku pun menanyakannya padanya, dan kau tahu apa jawabannya?” Dani bertanya lagi. Aku baru sadar kalau ia sangat ahli dalam masalah cerita. Aku kembali menggeleng tanda tak tahu.

“dia bilang, ‘aku tertarik dengannya!’” lanjut Dani bersemangat. Aku hanya terdiam mendengar perkataannya. Dani menepuk pundakku sambil berkata, “kau seharusnya bangga! Seorang artis sekolah, Riana Lestari ‘tertarik’ denganmu.” ia memberi penekanan pada kalimat ‘tertarik’.

“aku semakin bersemangat ketika tahu Ria juga tertarik padamu. Tapi setelah aku mengamatimu lagi, aku menemukan banyak kesamaan antara dirimu dengannya. Seperti, sama-sama menyukai Batagor, sama-sama cerdas, sama-sama senang melamun, sama-sama tak suka disorot kamera, bahkan menurutku wajah kalian cukup mirip.” tambah Dani. Jujur saja, aku tak suka disama-samakan dengan orang lain.

“oh ya, aku juga punya buku tulis khusus untuk menulis semua fakta tentang dirimu. Aku takjub padamu, kamu belum pernah lengser dari rangking 1 semenjak kau masuk sekolah ini. Kamu seperti boss terakhir di level teratas yang tak terkalahkan. Semua murid dan guru mengetahuinya, hanya dirimu sendiri yang tahu tentang fakta tersebut. Kemarin, aku sangat senang begitu kau mau ikut bersama kami.” Dani terus bercerita. Mulutnya terlihat masih kuat jika disuruh bercerita berjam-jam tanpa henti.

Kriiiingg! Bunyi bel tanda istirahat selesai cukup mengejutkan kami. Murid-murid di kantin segera berhamburan menuju kelas masing-masing. Dalam sekejap suasana kantin menjadi sunyi. Para penjaga kantin mulai membereskan meja yang penuh piring satu persatu. Kulihat Dani berdiri dari tempat duduknya, bersiap pergi ke kelas.

“mau kemana?” tanyaku sambil memakan batagor terakhirku.

“ya ke kelas lah! Ke mana lagi?” tanyanya balik.

“percuma, di kelas ga ada gurunya. Aku tadi lihat sekilas di ruang guru, bu Yanti ga masuk hari ini. Yang datang paling cuma guru piket buat ngasih tugas.” jelasku. Dani hanya mangut-mangut sambil kembali duduk setelah memesan 2 jus mangga pada salah satu penjaga yang sedang membersihkan meja.

Tak sampai 10 menit, penjual tersebut kembali sambil membawa 2 gelas berisi jus mangga. Kuminum jus tersebut hingga tinggal setengahnya. Aku cukup terkejut ketika melihat dua orang murid berjalan setengah berlari ke arah kami. Ya, mereka adalah Rini dan Aria.

“ga masuk kelas?” tanya Aria sambil menarik kursi yang sudah di bereskan penjaga kantin.

“seharusnya aku yang tanya kamu, kelasku sih ga ada gurunya.” jawab Dani.

“bolehlah, bolos sekali-kali.” ucap Aria sambil memesan jus jeruk.

“terus, kalian berdua ngapain di sini?” tanya Rini.

“yah ngobrol biasa.” jawab Dani sambil menyeruput jusnya.

Aku berdiri hendak meninggalkan mereka bertiga. Aku merasa tak enak mengganggu perbincangan mereka. Lagipula, aku sudah tak tahan ingin segera pergi ke kamar mandi. Belum sempat aku pergi, Dani sudah mencegahku, “mau ngapain? udah di sini aja ngobrol bereng.”

“kencing.” jawabku singkat. Dani pun membiarkanku pergi.

“balik lagi ya!” serunya setengah teriak. Aku hanya mengangguk sambil pergi menuju kamar mandi.

Di sebelah kantin, terdapat kamar mandi kecil yang biasa digunakan penjaga kantin untuk mencuci piring. Cukup tak terawat, tapi masih layak untuk digunakan. Aku segera masuk untuk menyelesaikan urusanku. Setelah selesai, aku pun kembali ke tempat semula. Awalnya aku tak mau, tapi karena aku merasa tak enak sama Dani kalo aku tak kembali, ya bagaimana lagi.

Aku kembali duduk di tempat semula, Dani terlihat senang saat aku kembali. Mereka kembali melanjutkan obrolannya. Namun, obrolan mereka terhenti saat terdengar bunyi ringtone dari sebuah hp. Tampaknya, itu hp milik Aria. Aria mengeluarkan hp-nya dari saku miliknya. Tapi, wajahnya tampak bingung ketika melihat layar hp-nya.

“telpon ya? Dari siapa?” tanya Rini.

“ga tau nih orang nyasar.” jawab Aria sambil membiarkan hp-nya terus berdering.

“coba sini lihat.” ucap Rini sembari mengambil hp yang ada di tangan Aria. Aku tak mengerti, muka Rini tampak sangat terkejut setelah melihat hp Aria.

“ini nomornya Ria! Ria yang nelpon!” serunya sambil menjawab panggilan tersebut. kami hanya terbengong melihat Rini bersorak saking senangnya.

“halo, Ria! Ria! Ria?” Rini terlihat bingung. Sepertinya tak ada jawaban dari ujung telepon. Rini pun membesarkan volumenya agar terdengar.

“hehehe, kalian tenang saja Ria aman di sini.” terdengar suara berat seorang pria dari ujung telepon.

The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang